Pre-Wedding

Tuesday, February 3, 2015

 Credit to: Pinterest

This is gonna be a longggg post without any (pre-wedding) pictures.

Kenapa pre-wedding, karena aku pengen sharing apa aja yang aku pelajarin dalam hubunganku dengan pasangan, khususnya menjelang wedding day kami. Buat yang udah nikah, pasti ngerti banget fase sebelum merit itu hebohnya kayak apa. Bukan cuman ngurusin detil dan konsep pesta itu sendiri, tapi lebih ke persiapan mental masing-masing pasangan. Okay, should I start now? Here we go. 

Jadi di tulisan sebelumnya, aku udah mention kami akan nikah tahun ini, tepatnya di bulan Oktober nanti. Kami pacaran hampir lima tahun, dari awal kami udah komit hubungan ini akan dibawa sampai ke tahap selanjutnya. Sebenarnya sejak komitmen itulah kami langsung dikasih Tuhan untuk 'menikmati' proses dalam hubungan kami. Banyak yang bilang masa pacaran adalah masa yang indah, well iya sih, tapi menurutku 70%-nya habis buat nguras emosi hahahaha. Bukannya kami sering berantem ya, tapi karena pacaran itu proses mengenal satu dengan yang lainnya jadi ya sulit banget. Kenal diri sendiri aja belum full, apalagi harus belajar tentang orang lain. Dan saat itu aku baru umur 19 dan dia 20. Labil banget cyinnn, cucok abis deh. Masih tengil, masih egois, masih sama-sama pengen nyenengin diri sendiri. 

Sejak dia ngajakin nikah (dan orangtua kami sudah saling bertemu), jujur mendadak aku banyak pertimbangan dan kekuatiran sendiri. Bukan soal kepercayaan hubungan kami, namun lebih ke soal diri aku sendiri. Aku merasa semuanya terlalu cepat. Baru lulus, baru adaptasi di lingkungan baru, yakin udah mau nikah? Karena kebanyakan mikir, kami pun jadi sering bertengkar (padahal kami udah jarang banget tengkar) dan ini benar-benar sulit untuk dilewati.

Saat ini, di mana kami cuman punya waktu kurang lebih delapan bulan untuk enjoy our single life, dan ketika aku flashback, now I understand why God brings us until here. Ada 3 poin penting yang aku pelajari dari relationship ini. 

1. You couldn't change anyone, including your partner/spouse. 
Me and him are totally living in different world. Latar belakang keluarga kami beda banget, sifat kami apalagi. Terkadang ada aja yang bikin gregetan sama sifat masing-masing. Manusiawi banget kalau kita rasanya pengen merubah diri seseorang, sesuai dengan keinginan kita. Semakin kamu mencoba, semakin kamu menyakiti diri sendiri. The thing is, we couldn't change anyone else. Nggak ada pasangan yang kembar sifatnya, hobinya, kesukaannya, dll. Untuk bisa nerima orang lain, aku belajar untuk nerima diri aku sendiri dulu, dan ini yang aku lakukan untuk menerima dia sebagai pasanganku. 

2. We all have our own issues. 
Masing-masing couple pasti punya masalah pribadinya sendiri. Nah, begitu masalah muncul pasangan itu diuji banget. Sebagai partner, aku berusaha untuk support pasanganku saat menghadapi masalahnya, begitu juga sebaliknya. Enaknya punya partner, kita bisa saling berbagi susah maupun senang. Kalau di salah satu line janji nikah begitu kan, "dalam susah maupun senang". Apapun masalah yang dihadapi, coba untuk terbuka sama partner kamu, cerita aja apa adanya, what you feel, what you need. Saat kita bisa terbuka, kita juga belajar untuk percaya kalau partner kita itu bakal mendukung kita sepenuhnya. Aku sebisa mungkin nggak menyembunyikan apapun dari dia. It's okay to tell your problems, masalah itu bukan aib kok. I will marry this guy, it's almost impossible to hide things from him. Lebih baik sekarang daripada nantinya ruwet.

3. Don't give up your dreams, build them together instead. 
Begitu aku tau bakal nikah muda, ketakutan terbesarku adalah: nggak bisa merealisasikan mimpi. Pas aku kuliah semester tujuh (dia udah lulus karena satu tahun di atasku), kami berdua mulai mikir serius soal pernikahan. I gave him a sign already that I don't want to get married too early, ya maksudnya kayak ngasih sinyal "jangan propose abis lulus ini ya" haha. That time I was only 21, rencanaku bakal nikah di usia 25-26, apalagi saat itu kondisinya aku masih nggak tau bakal pindah ke Bali. Setelah aksi mewek-mewekan di telepon (serius aku nangis, plus itu lagi masa-masa mau skripsi), he asked me why. Aku bilang jujur masih pengen ngejar mimpi, masih pengen liat dunia, masih pengen nikmatin "single" life. And what he said? 

"Gimana kalau kejar mimpi itu bareng-bareng? Gimana kalau liat dunia bersama?" 

Aku langsung terdiam.  He was damn right and I hate when he's right.

Aku nggak pernah mikir itu sebelumnya. Aku malah terlalu eager untuk melakukan semuanya sendirian, padahal aku punya partner yang luar biasa mendukung aku. Dari situ aku sadar, ada beberapa hal yang memang bisa dilakukan bersama daripada sendirian. Nikah di usia muda emang bukan plan-ku, but maybe it's God's. And He sent me this guy to be my dream partner. Nikah muda nggak akan menghancurkan mimpi, we choose to build them together.

In the end, we're both beyond excited about what's coming next. Wish us luck. Stay awesome!

1 comment: