"Ladies First: Apakah Perempuan Memang Harus Selalu Didahulukan?"

Saturday, May 30, 2015

Still don't have any ideas what to write next, so I decided to share this interesting article. Rasanya sayang aja kalau artikel ini nggak di-share di sini. Artikel ini berisi tentang a man's personal thought about "ladies first". Mata langsung melek lebar-lebar begitu baca tulisan ini, rasanya jadi bersalah juga sempet suka ngomong "ladies first" sebagai 'tameng'-nya perempuan (dalam kurung perempuan Indonesia) LOL. Anyway, baik cewek atau cowok boleh banget baca artikel ini. Enjoy this article and have a great weekend. Stay awesome!

Ladies First: "Apakah perempuan memang harus selalu didahulukan?"
Seorang perempuan menyelak di pintu masuk lift yang penuh sesak. Katanya, "ladies first, Mas". Saya terdiam melihat polahnya, mematung dan memandangi sosok itu hingga pintu lift tertutup. Pertama, untung dia cantik. Kedua, saya jadi merasa bersalah, merasa kurang gentleman. Ketiga, saya bingung: Mengapa ia 'mengecilkan' diri sendiri?

Pada era di mana banyak orang berteriak kesetaraan gender, ungkapan ladies first terasa janggal ketika diucapkan seorang perempuan. Seperti ada jejak egoisme, ada remah-remah insecurity juga sense of inferiority zaman purba. Ia tampak semakin janggal ketika muncul dalam situasi yang bukan perkara hidup atau mati. Berebut masuk lift adalah salah satunya. 

Tetapi bagaimana ungkapan itu lahir? Itulah pertanyaan yang terngiang selama saya di dalam lift kloter selanjutnya. Kejadian apa yang memicu? Apa yang melandasinya? 

Catatan tertua soal ini rupanya ada dalam sebuah novel berjudul Harrington: A Story of True Love (1860) karya Douglas O'Connor. Bunyinya, "women and children first", dan mengacu pada aktivitas evakuasi. Bagaimanapun, dalam dunia nyata, kebijakan itu pernah diaplikasikan pada tahun 1852, dalam evakuasi kapal Royal Navy, HMS Birkenhead. Ia jadi kian terkenal karena tragedi tenggelamnya RMS Titanic pada 1912. 

Sesungguhnya, tak ada hukum maritim yang mendasari kebijakan itu. Profesor Ed Galea, pakar evakuasi bencana dari University of Greenwich, bahkan mengatakan, dalam evakuasi, "help the most vulnerable to leave the scene first. It's not necessarily women, but is likely to be the injured, elderly, and young children." Studi dari Uppsala University juga mengatakan bahwa kebijakan itu bersifat "pengecualian", bukan "aturan". 

Inilah yang kemudian menjadi masalah. "Ladies first", yang tadinya memiliki landasan logis untuk menjadi sebuah "pengecualian", mulai tampak seperti aturan ketika memasuki ranah etika. 

Pengetahuan etika yang setengah matang memicu kebingungan bahwa, kapanpun dan di manapun, perempuan harus diberi kesempatan lebih dulu. Ini keliru, dan pria-pria romantis punya andil di dalamnya. Etika Eropa Barat sendiri tidak memiliki batasan baku tentang kapan ia mesti digunakan. Yang jelas idenya adalah, laki-laki akan mempersilakan perempuan mendapat kesempatan lebih dulu jika ia yakin situasinya aman. Jika tidak, laki-laki maju lebih dulu. Manis. 

Tetapi itu baru sepenggal cerita. Banyak perempuan tidak tahu, bahwa ada cerita-cerita lain yang lebih tua di balik lahirnya ungkapan "ladies first". Di Jerman, misalnya, waktu manusia masih tinggal di gua-gua. Ketika mendengar suara binatang buas dari luar gua, lelaki akan mengirim perempuan ke luar, sehingga lelaki dapat menyerang binatang itu dari belakang. Di zaman Romawi, para pejabat kerap mengatakan "ladies first" ketika perjamuan makan, mempersilakan perempuan mencicipi hidangan lebih dahulu. Sangat gentleman, tetapi sedikit yang tahu bahwa kala itu pembunuhan dengan racun adalah strategi yang umum dilakukan. Oleh karena itu, perempuan pun diminta mencicipi dulu. 

Manapun kisah yang Anda percaya, perlu disadari bahwa "ladies first" tidak lahir dari romantisme. Ia lahir dari situasi dan kondisi tertentu yang mendorong naluri primitif pejantan untuk menjalankan instingnya sebagai penjaga. Dalam konteks modern, ia merupakan courtesy, persembahan, penghormatan, tapi tidak sekalipun merupakan kewajiban. 

Kini, ketika kejadian di lift itu kembali terbesit, saya malah membayangkan hal lain. Alangkah indahnya pertemuan itu jika "ladies first" tidak sempat terucap. Saya tidak akan merasa bersalah dan saya tidak akan merasa ia mengecilkan dirinya sendiri. Yang tersisa hanya satu: Ia cantik. Well, laki-laki mana yang tidak suka dengan perempuan cantik yang independen?
 
Ditulis oleh: Bayu Maitra
Dikutip dari majalah CLEO edisi Maret 2015 (His Say, hal 73)

No comments:

Post a Comment