Woh, judul postingannya udah cukup menengangkan belum?
Beberapa waktu lalu aku dapet sebuah DM di Instagram yang bikin aku gatel pengen ditumpahkan di sini. Isi DM-nya curhatan. Bisa dibaca di bawah ini:
Lagi-lagi soal stereotype orang Tionghoa dengan profesi pekerjaan yang dipilih. Klise sekali, bukan?
Respon setelah baca DM ini, ya senyum-senyum cantik aja. DM itu aku balas sesingkat dan sepadat mungkin. Thank God setelah itu yang mengirim DM ini menikmati pekerjaan baru dia sebagai barista.
Sekarang curhat dikit leh, yaaa.
Waktu aku jadi barista dulu, orang-orang terdekat sama sekali nggak mempermasalahkan pilihan pekerjaanku. Justru yang paling sering mempermasalahkan orang-orang yang nggak kukenal dan sebaliknya.
Beberapa waktu lalu aku dapet sebuah DM di Instagram yang bikin aku gatel pengen ditumpahkan di sini. Isi DM-nya curhatan. Bisa dibaca di bawah ini:
Btw, udah minta ijin ke ybs kok untuk posting ini (:
Lagi-lagi soal stereotype orang Tionghoa dengan profesi pekerjaan yang dipilih. Klise sekali, bukan?
Respon setelah baca DM ini, ya senyum-senyum cantik aja. DM itu aku balas sesingkat dan sepadat mungkin. Thank God setelah itu yang mengirim DM ini menikmati pekerjaan baru dia sebagai barista.
Sekarang curhat dikit leh, yaaa.
Waktu aku jadi barista dulu, orang-orang terdekat sama sekali nggak mempermasalahkan pilihan pekerjaanku. Justru yang paling sering mempermasalahkan orang-orang yang nggak kukenal dan sebaliknya.
Komentar yang paling sering datang dari customer. Nggak jarang lho, kalau misalnya ada pelanggan tante-tante keturunan Tionghoa lagi belanja dan kebetulan aku yang melayani, mereka pasti komen yang menjurus sinis seperti, "Kamu ngapain kerja di sini?", "Emang gajinya berapa, sih?", "Kamu nggak takut kotor ya?". Pertanyaan terakhir itu nyebelin banget, sih. Percayalah, saat si tante mengucapkan kata "kotor", pekerjaan yang aku lakukan saat itu nggak 'bersih' di mata dia.
Nggak cuma tante-tante, kadang ada juga bapak-bapak. Biasanya mereka berkomentar, "Kamu digaji berapa di sini? Mending kerja kantoran kayak saya. Gajinya juga besar. Kebetulan di tempat saya lagi cari pegawai...", kemudian mengeluarkan kartu nama. Zzzz. Nggak ada yang salah menawarkan pekerjaan. Yang salah caranya itu, lho, Pak!
Sampai sekarang aku masih bingung kenapa masih banyak orang di luar sana yang menghubungkan ras dengan pekerjaan mereka. Kalau orang Cina di Indonesia haram bekerja di bidang blue collar, apa kabar barista-barista Starbucks yang kerja di negara Tiongkok sendiri? Apa masih berani nyinyir mereka dengan alasan yang sama?
Soal bikin malu temen atau orangtua, takut jadi cibiran orang lain, dll... coba tanya diri sendiri dulu. Malu nggak jadi barista? Malu nggak nyapu, ngepel, cuci piring di dapur? Kalau nggak, ya hajar aja. Kasarnya, ya, yang kerja gue kok, yang digaji juga gue, yang CAPEK juga gue, kok situ yang ribet. Yang setuju katakan YES!
Plis, gaes. Sebelum kamu berkomentar dengan pekerjaan orang lain, coba tolong posisikan diri sendiri menjadi orang lain tersebut. Kalau nggak bisa, ya jangan berkomentar. Capek, lho, ngomongin orang. Lebih baik mikir hal yang paling esensial: kontribusi apa, sih, yang sudah kita berikan dari apa yang kita kerjakan? (: