Diary of The Week #22: My Personal Thoughts of Antologi Rasa The Movie

Monday, February 18, 2019


Beradaptasi dengan rutinitas setelah pulang liburan itu susah-susah gampang, ya. Jiwa masih melayang-layang di tempat liburan, kemudian seolah-olah dapet panggilan "earth to Jane, again... earth to Jane..." *reality slap*

Tapi minggu kemarin ini cukup lancar kok, udah bisa update blog lagi, ngurus perintilan domestik dan hal lainnya.

Hari Minggu kemarin, aku pergi nonton bioskop sendirian untuk kedua kalinya. Nagih banget ya ternyata nonton bioskop sendirian itu. Walaupun agak sebel juga karena pas nunggu film mulai, malah ada trailer film horror dan terpaksa harus nutup mata, malah di sebelah-sebelah kagak ada orang. Kemarin satu studio isinya cuma tiga orang, termasuk aku. Sepi banget! Udah wanti-wanti bakal nonton sendirian nih, gara-gara cuma aku seorang yang duduk di depan studio nunggu pintu dibuka. 

Emang nonton film apa, sih? 

Film adaptasi novel Ika Natassa yang kedua, Antologi Rasa. Sebelumnya, Critical Eleven udah naik layar lebar duluan. Aku pernah cerita dikit tentang filmnya di sini. 


Kemarin ini sempet cerita dikit di IG story, Antologi Rasa adalah karya Ika Natassa favorit kedua setelah Twivortiare. Jujur aja, sih, pas nonton trailer-nya agak-agak gimana gitu, nggak segreget waktu nonton trailer-nya Critical Eleven yang cukup breathtaking karena syutingnya aja udah di NYC kan yaaa, terus OSTnya juga wow banget. 

Sejak pengumuman cast Antologi Rasa aku juga yang ngerasa "ohh?" gitu doang, sih. Jejeran nama pemerannya biasa aja, kecuali abang Refal Hady yang udah bikin hati ini ketar-ketir karena doi memerankan karakter Ruly. 

So, how was the movie? 

Brutally honest, I don't really recommend to watch this, hahaha. Serius, mending baca novelnya aja deh. 

Aku bukan pakar perfilman, nggak ngerti apa-apa juga tentang proses pembuatan film, jadi nggak bisa sok komentar yang gimana banget, namun sebagai penonton dan juga penggemar novelnya, aku agak menyayangkan film Antologi Rasa ini. 

Pertama, monolog karakternya ganggu sejak film dimulai. Novelnya memang memakai sudut pandang pertama dan menurutku itu yang bikin keseluruhan novel Antologi Rasa so special. Regretfully, not for the movie. 

Karakter Keara yang cukup kuat di novel malah keliatan jadi biasa aja di film. Padahal akting Carissa Perusset udah kece lho, she's so stunning by the way. Karakter Keara ini ngingetin aku sama seorang teman, dari cara bicaranya, prinsip hidup yang dipegang, kisah cinta, tuh udah mirip banget sama si teman ini. Selama nontonin Carissa as Keara, aku malah kebayang-bayang si muka teman, mau bilang ke yang bersangkutan takut ke-GR-an hahaha. 

But anyway, aku kurang tau pasti apa yang bikin si Keara di film ini agak-agak plain, apa masalah pengembangan karakter di naskah? Sekali lagi, aku hanya penggemar film, jadi ini review ala kadarnya aja, tapi masih berusaha untuk jujur. 

Kedua, penempatan lagu di beberapa scenes bikin adegan itu sendiri terkesan 'murahan' dan corny. Kan sebel jadinya, mau ikutan emosional jadi nanggung ðŸ˜… 

Despite of all disappointment of the movie, aku cukup terhibur dengan akting Herjunot Ali sebagai Harris. Udah lupa banget kapan terakhir nonton aktingnya Junot di film maupun sinetron, jadi begitu nama doi diumumkan sebagai Harris, I had zero expectation. Ternyata dasar emang dia Harris banget, hahahaha. Ada 1-2 adegan di mana berhasil bikin aku berkaca-kaca karena aktingnya, salah satunya scene di hotel setelah insiden di Zouk malam sebelumnya. Rasa iba pada Harris sama seperti waktu baca novelnya. 

Akhir kata, seperti yang kubilang di IG story, the movie was good, but not the best. Aku tetap salut dengan perjuangan dan kerja keras Ika Natassa dan kru lainnya dalam menghasilkan film ini. Dengar-dengar produksi film adaptasi itu emang nggak mudah, apalagi dengan adanya pecinta versi novel garis keras, somehow menjadi beban berat buat para tim produksi film. Kak Ika tetap keren lah! Nulis buku aja susah (buat gue), apalagi bisa dijadiin film gini. You still one of my favorite author ever. 

Selanjutnya, bakal ketemu Om Beno dan Alexandra di Twivortiare the movie nih! 

10 comments:

  1. Terus terang Jane cici udah lupa loh cerita Antalogi Rasa, udah lama banget baca bukunya hahahaa...bahkan kamu sebut nama tokohnha pun nggak ada bayangan sama sekali, kalau Beno dan Alexandra inget nama tokohnya tapi baca novel versi twitter aku tak suka hahahaa...kmrn2 nih baru baca keluaran Alia Zalea tapi lupa judulnga whahahaha pokoknha novel terbaru dia deh 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Antologi Rasa emang udah lama banget sih ci, kalo nggak salah terbitnya di tahun 2011, cuma aku baru baca sekitar 3-4 tahun yang lalu karena baru kenalan sama novel-novelnya Ika Natassa.

      Aku baru baca novelnya Aliazalea gara-gara dia nerbitin dengan cover baru, tapi aku pun lupaaa yang terakhir dibaca judulnya apa, bagus juga sih hahahaha

      Delete
  2. Nagih banget ya ternyata nonton bioskop sendirian itu >> BANGET!! >.<
    Huhu reviewnya bikin aku inget pengalamanku nonton film dalam negeri yang ujung2nya biasa aja, emmm...maksudnya nggak bagus-bagus amat. Pengalaman itu bikin aku jadi mikir berbanyak kali buat nonton film domestik lagi :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenernya film dalam negeri bagus sih, meskipun rata-rata ceritanya masih agak-agak cheesy (untuk romance-nya ya) dan tergantung siapa aktornya dan siapa produsernya hahaha. Kayaknya aku put high expectation juga sih untuk film Antologi Rasa ini, makanya rada syok kenapa gini banget ya (:

      Delete
  3. dari semu novelnya Ika Natassa, justru saya paling b aja sama Antologi Rasa mbak xD rasanya kaya FTV standar dengan template cinta segitiga tapi versi high class hihi

    Pas tau AR dibikin film, satu-satunya alasan yang bikin saya pengen nonton adalah karena ada Junot xD dan ternyata menurut temen2ku yang udah nonton filmnya emang b aja dan cenderung overrated

    Kalo sama Twivortiare... karya terbaik Ika Natassa menurutku karena gaya penulisan yang oot banget! keren~

    ReplyDelete
    Replies
    1. YES, overrated itu kata yang tepat untuk film adaptasi ini. Entahlah, makin dibahas kok aku ya makin kecewa hahaha. Novel-novelnya Ika Natassa mulai ngantri dibikinin filmnya nih, semoga yang lainnya lebih bagus lagi ya. Karena yang pertama kemarin, Critical Eleven BAGUS banget sih, jadinya kayak orang-orang menaruh harapan lebih dengan yang satu ini.

      Delete
  4. Haduuuuu, sepakat! Dari segi fisik menurutku Cinta-nya Harris udah sesuai banget sama bayanganku. Tapi dari segi acting (sebelumnya maapin buat para expert, ku cuma butiran kutu) masih rada kaku dan belum mengimbangi lawan mainnya samsek. Kalo udah ngomong, bayangan Keara-nya bubar jalaaaaan hahaha :')))))) Yang cukup menolong sih Junot menurutku, bener-bener Harris banget. Ai laikkk! Hihi. Cuma chemistrynya antara Keara-Harris-Ruly kaya bukan sahabatan 5 tahun, kaya baru kenal aja gitu perasaan. -_______-

    Sekali lagi mohon maaf ya fans-fansnya Kak Ika *ikrib* hihi, mungkin akunya aja kali yang terlalu berekspektasi tinggi. :') Peace, love, and gaul

    ReplyDelete
    Replies
    1. Chemistrynya antara Keara-Harris-Ruly kaya bukan sahabatan 5 tahun, kaya baru kenal aja gitu perasaan ---> NAH BENER -_______-; emang sih Keara-Ruly agak-agak canggung karena si Kearanya kan punya rasa, cuma kayaknya nggak gitu amat deh huhu. Suer ini ketolong sama Junot aja, kalo nggak I don't have any words to say sih hahahaha

      Delete
  5. This is just my personal opinion and sorry if this somehow got off on the wrong foot.

    Aku udah baca novelnya dan, maap-maap aja nih buat penggemarnya, kecewa banget :) Ide ceritanya sih oke, tapi pemilihan tokoh, watak tokoh, konflik, dan bahkan diksinya mengecewakan banget. Nggak sesuai ekspektasi hehe, yang udah dibangun tinggi dengan judul, sampul buku, dan popularitas penulis. Katanya metropop, tapi kekanakan banget kayak chicklit. Makanya pas dibilang mau dijadiin film, aku sampai bingung... apanya yang mau diangkat jadi film? :)) Jadi ya aku nggak kepikiran sama sekali untuk nonton filmnya, cek dari postingan ini aja udah cukup kayaknya haha.

    Sebaliknya, aku nonton Critical Eleven dan suka dengan filmnya. Reza Rahadian emang nggak pernah mengecewakan sih, makanya aku pas diajak nonton mau aja, meski sempat nggak yakin karena pernah dikecewakan sama Antologi Rasa. Habis nonton ternyata bagus banget ceritanya dan jadi kepikiran untuk baca versi bukunya (tapi sampai sekarang belum disentuh hihi). Tapi intinya, ya itu. Bukan maksudnya hateful, hanya ngerasa kalau karya-karyanya Ika Natassa bukan buatku hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Its okaaaay, karena setiap kita punya selera dan pendapat masing-masing kan (:

      Antologi Rasa ini salah satu novel Ika Natassa yang aku jagokan, entah udah berapa kali juga aku baca ulang karena aku admire cara penulisan setiap karakternya. Waktu diumumin mau dijadikan film pun aku udah keburu high expectation, karena film sebelumnya (Critical Eleven) itu sukses berat kan, mana aktornya udah yang kece berat.

      Mau sebel juga gimana yak sama film ini hahahah karena ya kak Ika sendiri udah kerja keras dengan hasil karyanya sendiri, she knows better lah pastinya. Semoga next movie-nya akan lebih baik lagi aja *finger crossed*

      Delete