Books Love: Review Kim Ji-Young Lahir Tahun 1982

Thursday, December 19, 2019


Beberapa hari yang lalu, aku iseng nonton film Korea yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul: Kim Ji Young Born 1982. Dan ini lagi dibahas banget di sosial media karena temanya seputar feminisme dan patriarki, isu sosial yang dekat dengan budaya kita juga di Indonesia.

Plot besarnya tentang seorang wanita berusia 30an bernama Kim Ji Young yang mengalami tekanan dari budaya patriarki sejak lahir dan dampaknya masih terus ia rasakan saat ia berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga yang mengurus seorang anak. Suatu hari, Ji Young bertingkah aneh dan mulai berperilaku seperti orang lain, dan tanpa disadari ternyata ia sedang mengalami depresi. 

Begitu tau film ini merupakan adaptasi dari novel, aku pun gercep beli bukunya di Gramedia. Biasanya versi buku pasti lebih kompleks daripada filmnya. Jujur, selesai nonton film ini nggak menyisakan emosi yang gimana, sih. Kecuali beberapa adegan yang berhasil bikin air mata ini tumpah.

Sebelumnya pun aku pernah nonton drama Korea yang juga mengangkat budaya patriarki dan pelecehan gender pada wanita, diantaranya "Go Back Couple" dan "Because This is My First Life". Mungkin karena isu mental health lagi kencang banget gaungnya, plus ini juga tentang motherhood, makanya banyak emak-emak yang heboh membahas film ini di sosmed.

Silakan nonton trailer filmnya yang belum nonton

Alasan lain kenapa aku penasaran pengen baca novelnya, karena karya debut dari penulis Cho Nam Joo ini sendiri sempat bikin heboh warga Korea Selatan, di mana budaya dan sistem patriarki di sana sangat kental. Mayoritas warga merasa 'risih' budaya ini diangkat menjadi karya literasi. Irene Red Velvet dan Sooyoung SNSD pun sampai dihujat netizen Korea Selatan saat mereka ketahuan membaca buku ini dan di-share di akun sosmed mereka. Mereka dianggap nggak pantas ngomongin isu sensitif ini, apalagi sebagai idol perempuan fans mereka pun kebanyakan laki-laki. But thanks to them, buku Kim Ji Young Born 1982 di Korea pun laku keras. Namun menariknya, RM BTS pun membaca buku ini juga dan kayaknya nggak ada komentar apapun dari netizen. (mungkin pada takut sama presidennya ARMY ini lol)

Karena filmnya udah cukup banyak yang review di blog maupun di IG story, aku bakal membahas dari sisi novelnya, ya. I jotted down some notes after finished reading the book. So here we go... 

WARNING: this post contains of the movie spoiler and also a really long post! Bear with me! 

Latar belakang Ji Young di tengah keluarga yang menganut sistem patriarki


Ji Young adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Dia punya kakak perempuan dan adik laki-laki yang usianya terpaut lima tahun dari dirinya. Ji Young lahir di saat keluarganya mengharapkan kehadiran bayi laki-laki, sampai-sampai ibu Ji Young harus meminta maaf pada mertuanya karena ternyata kehamilan keduanya adalah anak perempuan lagi (sumpah patah hati banget baca bagian ini T_T). 

Seiring Ji Young dan kakak perempuannya tumbuh besar, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil di rumah. Mulai dari sang nenek (mertua ibu Ji Young) yang selalu melarang cucu perempuannya menyentuh barang adik laki-lakinya (bayangin, nyentuh aja nggak boleh!), kalau hujan dan hanya ada dua payung maka si adik lah yang berhak memakai satu payung sendirian sementara kedua kakaknya harus saling berbagi. Dalam hal makanan pun adik laki-lakinya pasti dikasih yang bentuknya masih bagus, sedangkan mereka berdua mendapat yang hancur. Ada satu adegan di mana Ji Young penasaran pengen nyicip susu bubuk adiknya waktu masih bayi, ibunya pun memberikan dia sesendok, namun neneknya nggak suka kalau Ji Young mengambil susu bubuk adiknya, kalau ketahuan dia akan dipukul. 

Ji Young dan kakak perempuannya pun "terbiasa" dengan perlakuan tersebut seiring mereka bertumbuh, sehingga timbul persepsi pada Ji Young bahwa memang seharusnya anak perempuan itu mengalah. Ibu Ji Young pun sering memuji kedua anak perempuannya karena tidak pernah iri pada adik mereka, jadi ya untuk Ji Young itu bukan suatu masalah besar. 

Di sekolah pun, Ji Young juga mengalami situasi di mana "anak laki-laki selalu yang diutamakan atau dibela". Saat teman laki-laki sebangkunya sering menganggu Ji Young dan dia melaporkan hal tersebut pada gurunya. Sang guru pun menjelaskan kalau anak laki-laki biasanya 'bertingkah' kalau ia suka pada perempuan, jadi secara nggak langsung menurut gurunya Ji Young harusnya merasa senang. 

Ada juga pengalaman yang menyeramkan saat Ji Young harus pulang sendirian naik bus ke rumahnya. Dia diikuti oleh teman laki-laki di tempat kursusnya karena dia pikir Ji Young naksir sama si laki-laki ini padahal Ji Young sama sekali nggak ada rasa apa-apa. Begitu Ji Young menyangkal temannya itu, dia disebut "jalang" oleh temannya, seolah-olah memang Ji Young yang salah karena membuat teman laki-lakinya ini membuntuti dia pulang. Nggak sampai di situ, ketika ayahnya menjemput pun Ji Young dimarahi kalau ia harus berpakaian lebih pantas, kalau dia sendiri nggak melakukannya maka dia juga yang salah. 

Intinya, sepanjang hidup Ji Young itu dia punya self-esteem yang rendah, nggak hanya dikarenakan budaya patriarki yang pada zamannya itu sangat kuat, namun seringkali dia disalahkan karena apa yang dia alami. Dia merasa punya jati diri, namun di saat yang sama dia merasa kehilangan gambar dirinya sendiri. Sedih banget, kan? 

Ceritanya belum berhenti sampai di sini... 

Setelah itu, Ji Young menikah, hamil, berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga... kemudian dia mulai mengalami depresi 


Jeong Dae-Hyun, suami Ji Yeong adalah seorang pria baik dan pengertian. Dae Hyun bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang sangat lumayan, sehingga di awal pernikahan mereka bisa hidup dengan baik. 

Suatu hari, saat perayaan ulang tahun ayah mertua Ji Young yang pertama setelah ia menikah, semua keluarga suaminya berkumpul di Busan untuk makan bersama. Then, the most cliche question came to the newlywed: kok Ji Young belum hamil? Pertanyaan itu terus ditujukan pada Ji Young oleh kerabat mertuanya, sedangkan suaminya nggak ditanya apa-apa. Waktu Ji Young menjawab bahwa belum berencana punya anak, mereka pun sibuk berspekulasi pasti ada yang salah dengan kesehatan Ji Young, karena tubuhnya kurus, berjerawat pula tanda rahimnya nggak bagus. Resek banget emang, udah dijawab oleh yang bersangkutan, malah jadi ngejulid. Baru nikah setahun lho ): 

Pulang dari acara tersebut, Ji Young bertengkar dengan Dae Hyun karena merasa suaminya nggak melakukan apapun saat dia dituduh belum hamil karena punya masalah kesehatan. Dan di sini lah di mana aku gregetan banget dengan suaminya Ji Young. Kalau kata Kak Icha di IG story-nya, Dae Hyun di film digambarkan suami yang nggak super baik, standar lah, nggak seromantis di drakor pada umumnya juga, dan ya emang benar, sih. 

Kalau yang udah nonton, inget, kan, ada scene di mana Ji Young ngambek karena ditodong soal anak oleh keluarga suaminya? Terus, Dae Hyun ngajak istrinya untuk langsung bikin anak aja supaya masalah kelar. Adegan itu buatku terlalu diromantisir sebenarnya, karena dalam versi bukunya nggak se-lovey dovey itu. 

"Ada satu cara agar mereka berhenti meributkan masalah ini." 
"Apa?"
"Melahirkan seorang anak. Bagaimanapun, kita memang akan memiliki anak, dan kau tidak perlu lagi menghadapi ocehan orang-orang. Bagaimana kalau kita melahirkan anak sementara kita masih muda?" kata Jeong Dae-Hyun dengan nada santai dan ringan, seolah-olah ia sedang berbicara tentang membeli ikan... paling tidak, seperti itulah kedengarannya bagi Kim Ji-Young.
EMBER BANGET MAS, KOK SURUH ISTRI LAHIRIN ANAK SEGAMPANG BELI IKAN ASIN DI PASAR?? 


Coba bayangin kalau kalian di posisi Ji Young, terus suami memberikan solusi supaya nggak kena nyinyiran orang lain tentang punya anak, ya langsung aja hamil. Mau marah nggak ente?

Dan kalimat selanjutnya menggambarkan bagaimana sisi rendah diri yang dimiliki Ji Young, yang udah aku jelaskan di poin sebelumnya. Dia tuh sebenarnya marah dan nggak setuju dengan suaminya, tapi dia nggak berani mengungkapkannya.

Betul, Ji Young memiliki kesulitan dalam mengutarakan emosinya. Ini memang udah menjadi masalah terbesarnya sejak kecil karena udah diperlakukan tidak adil di rumah. Dia takut kalau ngomong, dia terdengar seperti anak kurang ajar. Dia takut kalau ngejawab suaminya, dia akan seperti istri yang nggak menghormati suami. 

Jadi, menurutku akar permasalahan mengapa akhirnya Ji Young menjadi depresi, bukan cuma tentang dampak sistem patriarki yang dialaminya, tapi karena Ji Young memilih untuk tutup mata dan mulut saat diperlakukan tidak adil. Ji Young merasa takut duluan kalau dia mengatakan apa yang ingin dia katakan. Ini juga dijelaskan oleh seorang sarjana kajian perempuan di dalam halaman penutup buku yang aku baca, Ji Young merasa "kehilangan" suaranya karena dia hidup di tengah masyarakat misoginis. 

Apa itu misoginis? Ini penjelasan singkatnya: 


Terus, kenapa Ji Young baru mengalami depresi saat dia sudah punya anak? 


Bukannya kata orang menjadi orangtua hal yang terindah? Jadi ibu itu adalah sebuah anugerah? Kenapa kok ini malah depresi? 

Aku coba menganalisa setelah selesai baca bukunya, kemudian nonton filmnya sekali lagi supaya lebih 'dapet'. 


Pertama, jadi ibu itu bukan suatu pekerjaan yang mudah. Iya betul jadi ibu itu sifatnya naluriah, tapi butuh waktu untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru. Apalagi Ji Young hamil karena tekanan dari orang lain, dia nggak sempat memikirkan dampak apa yang bakal dia rasakan setelah persalinan. Belum melahirkan pun, lagi-lagi Ji Young udah mendapatkan pelecehan gender dari kolega pria di kantornya. Di kantor Ji Young, pegawai wanita yang sedang hamil mendapatkan pertimbangan untuk datang setengah jam lebih lambat. Mengetahui kondisi Ji Young sekarang, rekan kerja prianya langsung komentar, "Wah enak banget lo bisa datang telat ke kantor." Padahal realitanya datang lebih telat, ya pulangnya juga bakal lebih telat, jadi nggak ada bedanya. Ji Young kesal setengah mati dan berharap rekan kerja prianya bisa merasakan rasa mual dan pegal yang luar biasa yang dialami dirinya. 

Kedua, jadi ibu harus siap dengan situasi di mana koneksi dengan dunia luar mendadak putus begitu aja. Berapa banyak dari kita yang awal-awal menjalani peran ibu harus ngendon di rumah dan kayaknya nggak bisa nyambung kalo ngobrol dengan orang lain? Well, I did. Dan rasanya memang nggak nyaman. Yang diomongin kalo nggak anak, ya anak. Orang lain menganggap kita nggak bisa diajakin ngobrol hal lain selain tentang anak. 

Ji Young pun seperti itu, dia iri dengan teman kerjanya dulu yang udah naik jabatan, bos lamanya yang udah punya bisnis sendiri, para perempuan yang dulu pernah dekat dengan Ji Young sekarang menjadi seorang pribadi yang sukses di mata Ji Young. Sedangkan, dirinya sendiri malah di rumah aja ngurus anak. She felt worthless. 

Ketiga, nah ini rasanya alasan yang nyambung dengan poin sebelumnya. Ji Young itu kayaknya nggak punya sesuatu semacam hobi yang bisa dia lakukan di rumah, makanya dia kebanyakan duduk merenung, mikir yang nggak-nggak dan akhirnya depresi ): 

Aku sama sekali nggak bermaksud mendiskreditkan masalah depresi, nggak juga bermaksud mengabaikan tanggung jawab sebagai ibu, tapi punya me-time itu penting banget memang untuk seorang ibu baru. Di saat ada waktu bisa benar-benar sendiri, lebih baik ambil waktu untuk diri sendiri dulu. "Tapi cucian numpuk, harus nyapu ngepel juga, belum masak... kan nggak punya mbak yang bantuin." Bawa ke laundry, panggil jasa bersih-bersih online, delivery order makanan yang kamu suka, yang penting kita bisa rileks dulu, santai sejenak. You are you before baby, so don't too hard on yourself (which I hope I could say this to myself back then too). 

Apakah akhirnya Ji Young sembuh dari depresinya? 


Kalau di scene terakhir filmnya, sih, keren banget, ya. Ji Young akhirnya berani spoke up, mungkin karena dia udah perawatan ke psikiater dan mungkin juga dia udah nggak tahan lagi dengan omongan orang lain tentang diri dia. 

Tapi gimana di versi buku? 

Nggak diceritakan secara jelas akhir dari pengalaman depresi Ji Young. Halaman selanjutnya diceritakan dari sudut pandang sang psikiaterand to be surprised, psikiaternya seorang pria, bukan seorang wanita seperti di filmyang merasa sedikit paham dengan kondisi Ji Young karena dia pun memiliki istri yang juga ingin bisa melakukan hal yang diinginkan meskipun sudah punya anak. Namun, sayangnya pemahaman sang psikiater berhenti sampai di situ. Diceritakan ada seorang rekan kerjanya yang merupakan seorang psikiater wanita yang harus berhenti bekerja karena... guess what, hamil. Rekan kerjanya ini hamil setelah enam tahun mengalami keguguran beberapa kali, jadi sangat berisiko. Psikiater Ji Youngyang namanya nggak disebutkanpun merasa mempunyai rekan kerja wanita yang menikah suka menimbulkan "kesulitan", jadi sebaiknya dia mencari pengganti yang masih lajang. 

Kalimat penutup di buku ini sangat menarik dan ada baiknya juga kita bisa merenungkannya bersama. 
"Tidak ada yang bisa berbicara mewakili kita untuk selama-selamanya, apakah Kim Ji-Young mampu menemukan kembali suaranya yang hilang? Jelas sekali solusinya tidak akan ditemukan oleh Kim Ji-Young sendiri. Para pembaca buku ini harus bersama-sama mencari jawabannya. Karena kita semua adalah Kim Ji-Young." 



Note: kalau mengikuti penulisan Korea (Hangeul), nama Kim Ji Young harusnya ditulis dengan ejaan "Ji Yeong" seperti pada judul buku. Namun, aku ngikutin judul official filmnya aja supaya nggak bingung, ya! 

9 comments:

  1. Tapi iya bener ya, kak. Sebenernya budaya patriarki di setiap film korea juga banyak terselip. Dari mulai tokoh wanita yang belum nikah terus ditekan dari lingkungan sehingga dia sedepresi itu pengen nikah. Atau saat si cewe kerja, suka dianggep ga akan sebagus cowo hasil kerjaannya. Sedih banget dan emang iya di Indonesia pun kaya gini kondisinya ya. Sama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yes, budaya ini juga masih dekat dengan kita di sini ya ): so we have to speak up for ourselves, supaya nggak ada lagi yang mengalami seperti yang dialami Ji Yeong.

      Delete
  2. Film ini memang lumayan buat para laki-laki di Korea malas menontonnya, bahkan waktu saya ke bioskop Korea, laki-lakinya cuma 2 orang hahahaha sisanya perempuan semua :D bagi kaum laki-laki di Korea, film ini seperti mengintimidasi mereka karena menurut mereka, nggak semua laki-laki di Korea seperti yang diceritakan pada buku maupun film yang ada (nggak semua dianak emaskan istilahnya) hehehe.

    Over all, kita bisa relate sama ceritanya karena cerita seperti ini juga banyak terjadi di Indonesia (termasuk permasalahan antara menantu perempuan dan mertua perempuan dan pandangan buruk orang-orang terhadap perempuan) heehehe :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah thank youuu sekali komennya! Jadi ada pandangan dari warga Korea tentang film ini juga.

      Iya aku setuju kalau nggak semua laki-laki di Korea seperti yang diceritakan, cuma sedih aja ya kalo misalnya masih ada orang-orang yang mengalami seperti yang di film. Dan iya orang Indonesia kurang lebih masih bisa relate dengan cerita Ji Young karena budaya dan isu yang dihadapi di masyarakat Timur itu rata-rata sama ya.

      Delete
  3. Beberapa minggu lalu sempet nonton cuma 15menitan karena alurnya sangat slow, saya kurang suka hihi tapi menurut saya bukan hanya perempuan saja yg harus nonton tapi juga bapak2 atau para mertua biar mulutnya dijaga. Aku suka berdoa nanti biar jadi mertua yang baik mba, mungkin nanti akan aku lanjut nontonnya dan emang punya hobi itu harus!

    ReplyDelete
  4. Baruuu aja selesai nonton filmnya, dan...sama aku juga nggak terlalu gimana2 pas nonton, ngerasa agak marah sih sama beberapa scene yang bos kantor ngerendahin perempuan banget, jiyoung disalahin pakaiannya pas dikuntit siswa laki-laki, sama waktu jiyoung nggak siap punya anak tapi suaminya ngajak punya anak biar nggak dinyinyiri orang lagi. Waktu baca tulisan ini jadi makin tau apa aja hal patriarki yang jiyoung hadapi tapi nggak dibahas di filmnya.

    ReplyDelete
  5. halo mbak, saya suka banget dengan blog nya. mampir kesini karena Kim Ji-Young ini, maaf sebelumnya saya mau bertanya. buku nya ada berapa halaman ya? saya belum sempat beli hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haii juga (: pakai anonymous aku jadi bingung manggilnya gimana 😅

      Makasih banyak yaa udah mampir ke blog aku. Kalau nggak salah novelnya nggak sampai 200 halaman deh, lumayan tipis dan nggak terlalu tebal. Bacanya juga lumayan cepat (:

      Delete
  6. Hi ci, salam kenal, saya Lia. bisa sampai di blog nya Ci jane karena ulasan bukunya. sebenernya saya sudah baca dan nonton filmnya beberapa bulan lalu, tapi karena ada kegiatan membuat resensi buku ini, jadi saya pun mencari tahu bagaimana pendapat beberapa pembaca. menurut saya point utama di novel ini 'she felt worthless' efek dari inner child, berhenti bekerja (hal 144), serta penjelasan tentang 'menjadi ibu' (hal 187). buku nya bagus, sayang tidak di jelaskan dengan rinci endingnya.

    ReplyDelete