"In Australia, it can take hours to drive between towns and fatigue can lead to accidents. So at busy holiday times rest stops are set up on major highways with volunteers offering free coffee. My wife, Merryn, and I grew to enjoy these stops during our long drives there.
On one trip, we pulled in and walked over to order our coffee. An attendant handed the two cups over, and then asked me for two dollars. I asked why. She pointed to the small print on the sign. At this stop, only the driver got free coffee; you had to pay for passengers. Annoyed, I told her this was false advertising, paid the two dollars, and walked off.
Back at the car, Merryn pointed out my error: I had turned a gift into an entitlement and become ungrateful for what I received. She was right. I went back to the woman and apologized. A free cup of coffee was a gift I didn't deserve—and something for which to be thankful." (story from Our Daily Bread, 12/08/17)
Kadang-kadang kita manusia begitu nggak, sih, tanpa sadar sering banget menganggap berhak untuk mendapatkan sesuatu. Padahal sesuatu itu sebenarnya juga adalah sebuah gift, atau karunia.
Sebelum pindah ke rumah mertua, pemicu pertengkaran aku dan Andreas pasti nggak jauh-jauh dari rumah. Aku yang selalu ngotot sebagai keluarga yang sudah mandiri, kudu harus punya rumah sendiri. Kontrak atau sewa nggak apa-apa, deh, sing penting tinggal sendiri. Sementara Andreas yang selalu meyakinkan bahwa kami akan punya rumah sendiri, tapi nggak sekarang, as right now. Padahal, topik ini tanpa kusadari udah dibahas sebelum menikah, dan tanpa sadar juga aku setuju. Karena satu dan lain hal, tinggal sementara bersama mertua itu pilihan terbaik untuk keluarga kami.
Namun sebagai istri, terkadang aku merasa rumah adalah sesuatu yang berhak aku dapatkan setelah menikah. Iya dong, bokap nyokap gue aja udah kasih gue rumah yang terbaik, masa setelah menikah gue 'numpang' di rumah orangtua suami... kasarnya begitu.
Setelah baca ilustrasi di atas, ini pipi kiri kanan rasanya ketampar banget. Aku langsung merasa manusia paling sombong dan egois. Sama sekali nggak sadar bahwa punya atap untuk berlindung supaya nggak kehujanan atau kepanasan aja udah bagus banget, masih aja nuntut sesuatu yang berhak aku dapatkan. Rumah yang sekarang kami tinggal pun adalah sebuah gift, but somehow I turned that gift into an entitlement. Mungkin Tuhan di atas sana ngomong kayak gini kali, ya: "Siapa eluuuu nuntut ini-itu. Bagus gue kasih tempat tidur, bagus gue kasih tempat di mana elu masih bisa makan kenyang." Ampunnnn, Gustiii... ):
Kalimat-kalimat seperti, "Jangan lupa bersyukur!" atau "Be grateful always!" rasanya udah kayak angin lalu. Iya, iya, tahu kok musti bersyukur, tapi setelah itu lupaaa, deh, kalau apa yang bisa dinikmati hari ini itu merupakan karunia.
Jadi, apakah sudah bersyukur hari ini? (: