#JanexLiaRC: Unconditional Parenting by Alfie Kohn

Saturday, January 22, 2022


Tema bulan pertama untuk #JanexLiaRC adalah membaca buku berwarna oranye.

Fun fact: sebelum akhirnya memutuskan untuk baca buku ini, aku sempat ganti dua judul dan semuanya non fiksi. Buku pertama sebetulnya udah ngendon lumayan lama di rak buku, aku beli secara random di Tokopedia Big Bad Wolf tahun lalu. Buku kedua, udah pernah baca, sih, tapi nggak begitu sreg. Gara-gara Lia suruh baca lagi, aku pun berusaha baca dan sama aja susah mulainya lagi, wkwkwk. Kemudian baru inget buku tersebut pernah aku review singkat di blog. Silakan cari sendiri buku oranye yang dimaksud 😜

Kenapa baca buku ini? 


Buku ini direkomendasikan oleh Youtuber Ali Abdaal sebagai bacaan untuk tahun 2022. Menurutnya, ini merupakan sebuah buku parenting yang layak dibaca. Sebagai orangtua yang jarang baca buku parenting dan kebetulan lagi burn-out menghadapi kesulitan pola asuh dua anak di rumah (bukan curcol, btw), yuk marilah coba baca buku ini, deh. Siapa tau bisa mendapat pencerahan.

Hal penting tentang isi buku


Sesuai dengan judulnya, penulis menggambarkan gaya parenting yang mengutamakan kasih sayang ke anak tidak berdasarkan pada apa yang mereka lakukan (things they do or how they act). Berkaca pada gaya parenting orangtua generasi baby boomers sampai Xyang mayoritas adalah orangtua kita (iya gue berasumsi kita satu generasi lah, wkwkwk), mereka cenderung menilai atau menyayangi anak-anak berdasarkan apa yang mereka lakukan. Kalau nggak nurut, nggak melakukan sesuai ekspektasi mereka, yaudah deh kena omel atau hukuman. Sebaliknya, jika kita mencapai ekspektasi mereka sebagai "anak baik", kalimat pujian atau mungkin rewards pun melimpah. 

Sampai di sini catat, ya, soal hukuman dan rewards (imbalan)

Mungkin di sini ada yang familiar (karena pernah mengalaminya) dengan dialog seperti: "Jangan sampai mama lihat kamu rebut mainan orang lain, ya!" atau "Kalau kamu nggak nurut, uang jajan mama potong!". Bentar, kenapa harus pakai subjek mama, ya? LOL 

Menurutku, nggak ada yang salah dengan kalimat seperti itu. Karena pada dasarnya hukuman diberikan untuk memberikan efek jera. Namun, berdasarkan apa yang aku baca dari buku ini, penulisyang juga seorang psikologis anakmengatakan, seringnya hukuman malah menjadi boomerang buat kita sebagai orangtua. 

Seperti contoh kalimat "jangan sampai mama lihat kamu rebut mainan orang lain" saat kita melihat anak merebut mainan temannya di playground. Bisa aja anak tersebut akan berpikir, "Oh well, kalau gitu aku akan melakukannya di saat mama nggak lihat." Hukuman atau ancaman seperti ini tidak efektif. Kita mengabaikan lesson (pelajaran) yang harus diterima anak-anak. 

Instead of saying that, you probably can say, "Kamu rebut mainan si Budi, tuh lihat sekarang dia sedih nggak bisa main mainannya. Menurutmu, kamu harus gimana?". Dengan begitu, selain mengajak anak untuk mencari solusi, kita juga bisa bantu menyadarkan dia dampak dari apa yang telah dilakukan

Tentu aja penanganannya akan berbeda di setiap usia anak-anak, ya. 

"Punishment doesn't lead children to focus on what they've done, much less on why they did it or what they should have done instead. Rather, it leads them to think about how mean their parents are and maybe how they're going to get their revenge (on the kid who got them into trouble)." p.92-93

Sama halnya dengan rewards. Anak-anak zaman dulu terbiasa melakukan sesuatu karena imbalan yang akan mereka dapatkan. 

Kalau dapet nilai bagus, boleh beli mainan. Kalau ke dokter nggak nangis, nanti makan es krim. Kalau makannya abis, boleh makan cheesecake

Apakah ada yang salah dengan ini? Lagi-lagi nggak, menurutku, yaa. Aku kadang-kadang juga "nyogok" anakku kalau lagi kepepet, bahahaha. 

Tapi nih, kalau ternyata si anak nggak dapet nilai bagus, ke dokter malah nangis kemudian makannya nggak habis, rewards tersebut nggak diberikan. Lalu apa yang terjadi? Ngamuk lah doi. Ya iya diomelin nggak mencapai target orangtua, rewards pun nggak dapat. 

Sama halnya dengan hukuman, rewards ini pun bisa jadi bumerang buat mereka. 

Selain itu, anak pun hilang motivasi utama saat diberikan rewards. Motivasi anak belajar dengan baik bukan untuk mendapat ilmu tapi biar dapat mainan baru. Anak ke dokter bukan supaya dia tahu bahwa mereka sakit dan dokter bisa menyembuhkan, tapi supaya dapat es krim. Makanan harus dihabiskan supaya bisa makan cheesecake. Padahal makanan dihabiskan supaya dia nggak kelaparan. 

Ada satu contoh kasus menarik yang disampaikan penulis dalam buku. Murid di sekolah biasanya diberikan tugas membaca buku, kemudian mereka harus menulis laporan untuk mendapat nilai bagus atau kelulusan. Suatu ketika, seorang calon mahasiswa dengan prestasi gemilang di sekolahnya serta menulis esai ciamik untuk college application, diwawancara oleh seorang konselor tentang buku favoritnya. Keheningan pun tercipta. Sang calon mahasiswa tersebut terbiasa membaca buku demi mengerjakan tugas, dia tidak pernah ada keinginan membaca sebagai hobi atau pleasure

Sebuah pemahaman tercipta di benak mereka: Kenapa gue harus baca kalau nggak dapet nilai? Kenapa harus baca kalau nggak ada tugas? 

See? Nggak membaca karena, ya, nggak disuruh, nggak dapet apa-apa. Bisa jadi karena ini juga kenapa membaca sebagai hobi kurang terbentuk di kalangan kita. No? 😞

Sometimes parents use both punishments and reward sebagai jalan pintas supaya nggak repot. Tapi, di samping cons dari kedua hal ini, apakah memang benar-benar nggak boleh memberikan hukuman dan rewards

Tentu saja ini dikembalikan ke orangtua dan kondisi keluarga masing-masing, ya. Seperti biasa, nggak perlu ditelan mentah-mentah. Yang baik boleh dilakukan, yang kurang sesuai dengan nilai parenting kita, cukup jadi informasi saja. 

Apa yang bisa dipraktikkan setelah baca buku ini?


Ada satu bagian buku yang menyampaikan pesan yang sama dengan buku parenting sebelumnya yang pernah aku baca, yaitu Seni Berbicara Pada Anak, tentang bagaimana mengganti kata-kata pujian seperti "good job", "you did great" dengan kalimat yang lebih spesifik. Tentang ini, sebetulnya aku agak menyayangkan karena penulis seolah-olah "melarang" untuk menggunakan kata pujian seperti yang kusebutkan di atas. Namun, apabila kita ingin kata-kata pujian kita lebih "berisi" dan juga membangun kepercayaan diri anak, bisa menerapkan contoh kalimat seperti berikut: 

Contoh #1: Ketika anak menggambar dan memanggil orangtuanya untuk melihat hasil gambarnya. Biasanya para orangtua akan berkata, "Gambar yang bagus! Mama suka gambarmu!". 

Try: Daripada sekedar memuji, we can describe what we see. 

Kebetulan Josh lagi suka gambar dan dia selalu memperlihatkan hasilnya pada kami. Aku sadar banget seringnya aku spontan mengucapkan, "Good job, Josh!" tanpa melihat benar-benar hasil gambarnya. Anaknya juga biasa-biasa aja. Nggak tau, sih, dia mikir apa. Sampai suatu hari, aku notice perbedaan hasil gambarnya. Simpel, sih. Roda kendaraan yang sebelumnya hanya digambar lingkaran, sekarang ada seperti garis-garis di dalamnya. So I said to him, "Josh, I notice something new on your wheels!". Tau nggak dia jawab apa? "Yes, ma! You noticed it! Keren, ya?". Ohhh, jadi memang beda, ya, kalau mujinya lebih spesifik (: 

Contoh #2: Ketika Josh main sama dedeknya sambil ketawa-ketawa, kita biasa bilang "You're a good brother!". 

Try: We can explain the effects of the child's actions on other people. 

Kami pun memperjelas kalimat pujian "You're a good brother!" dengan "Dedek hepi banget tuh kamu bikin dia ketawa terus. Dia suka diajak main sama kamu, Josh." Hasilnya, ya dia makin semangat untuk bikin dedeknya ketawa terus, because he knows he's not only a good brother, he also makes his sister laughs. 

Masih ada beberapa contoh lainnya yang disampaikan dalam buku. Namun, untuk saat ini kami ingin fokus latihan dua contoh pujian tersebut. 

Siapa yang bisa baca buku ini?


Tadinya aku hanya ingin merekomendasikan buku ini kepada sesama parents. But then I think sepertinya buku parenting bisa banget dibaca oleh mereka yang belum menjadi orangtua atau belum menikah. Seperti yang Ali Abdaal bilang, buku ini menjadi refleksi bagaimana dulu dia dibesarkan oleh orangtuanya, mungkin kita juga bisa menemukan informasi baru kenapa kita bisa seperti sekarang karena pola asuh orangtua dulu. 

***
Kesimpulannya, penulis ingin mengingatkan para orangtua untuk melihat anak sebagai individu yang mempunyai sudut pandang unik. Anak-anak juga punya ketakutan, punya keinginan, punya tujuan yang tentunya berbeda dengan orangtua. Daripada sibuk mikirin, "Gimana caranya supaya anak mau denger gue?" lebih baik pikirkan untuk memenuhi kebutuan utama mereka dulu. Spend time with them, be presence, jangan badan di samping anak tapi pikiran ke mana-mana atau sambil main gagdet *tunjuk idung*

20 comments:

  1. Wah mbak Jane pas banget aku lagi buntu banget gimana ngomong sama adekku biar doi nurut tanpa ada kata-kata ancaman 🥴

    Aku ngerasa serba salah kalo ngehukum atau ngelarang-larang dia. Kalo digituin takut efeknya jelek ke depannya. Kalo nggak digituin takut nggak nurut 😶

    Menarik kayaknya bukunya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adeknya Mba Dea umur berapa sekarang? Masih harus pakai "ancaman" untuk disiplin ya? 😂 Aku juga sebetulnya paling nggak suka pakai ancaman atau sogok-sogokan sama anak, diusahain banget itu sebagai senjata terakhir kalau lagi kepepet.

      Emang tricky ngedidik anak tuh. Terlalu banyak ngomong "jangan" nggak bagus, dibiarinin juga nggak boleh. Memang harus banyak hikmat supaya nggak salah membesarkan mereka :D

      Btw, Mba Dea pasti kakak idaman nihhh, hihi.

      Delete
    2. umur 10 mbak masih kelas 5 hehe beda jauh ya. mungkin juga karena efek anak terakhir dan pada beda jauh umurnya jadi dia manja gitu 😅

      Delete
  2. Ohh yaa mbak jane i see. Aku ngerti lebih detail. Banyak sih teman-temanku yang suka muji anaknya tanpa penjelasan detail dibelakang kalimatnya. Ya hanya sekedar kayak "good job!" "bravo! you're great" ku pikir yang begitu udah bagus, tapi ternyata enggak. Anak belum tentu paham dan belum tentu penyampaian komunikasinya pas tentang pujian itu.

    Iya sih, ngomong sesama yang sepantaran aja kita suka beda persepsi. Tentang apa yang disampaikan, tapi mengertinya belahan lain. Apalagi ke si anak, emang wawasan tentang parenting itu perlu bingit hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena memang yang spontan terucap tuh kata-kata pujian itu, Mba Nanaa. Sebetulnya nggak salah, tapi menurut buku yang kubaca akan lebih baik jika kalimat pujian tersebut diungkapkan lebih spesifik. Kalau nggak baca buku, aku juga nggak bakal tau tentang ini 😆

      Betulll. Parenting tugas seumur hidup, jadi belajarnya juga seumur hidup 😊

      Delete
  3. Aaaa bukunya sounds good, Ci! 😍. Setujuu! Buku-buku parenting seperti ini bisa banget dibaca sama semua orang even yang belum nikah. Jadi nambah tbr nih aku karena bukunya menarik 🤣
    Ciii boleh banget lho bahas-bahas soal parenting lagi kapan-kapan! Soalnya kalau Cici yang bahas, rasanya lebih enak dibacanya 🙈
    Oiyaa, aku juga mau rekomendasiin buku parenting yang judulnya The Book You Wish Your Parents Had Read, ini banyak banget yang bilang bagus dan kasih 5 stars rating, siapa tahu Cici juga bakal suka dengan buku ini 🙈

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Liii. Aku juga baru sadar kalau buku parenting itu nggak hanya bisa dibaca oleh orangtua tapi juga siapa ajah :D Aku sebetulnya jarang baca buku parenting, Lii. Soalnya aku picky kalau baca buku non fiksi khususnya tentang parenting. Sampai ada yang merekomendasikan baru berani baca, hahaha. Sama judul buku yang kamu mention itu di Instagram juga rameee dibahas sama ibuk-ibuk 😆 Udah masuk TBR juga nanti mau baca, hihi.

      Thank you, Liii udah baca review ini! Nggak sabar baca punyamu 😘

      Delete
  4. Aku langsung ngerasa semua negative pointsnya ada di aku semua 🤣. Mulai dari pake ancaman dan rewards, atau muji pun ga spesifik. Diajak main anak, tp pikiran kemana2 soal kerjaan 😫.

    Kadang perlu sih baca buku parenting begini, supaya setidaknya aku tau salahnya di mana. Walo terkadangpun ada bbrp saran dari buku begini yg mungkin ga cocok Ama polaku. Aku lebih milih ga menyerap plek plek banget, tapi disesuaikan Ama kondisi di rumah dan anak2.

    ReplyDelete
    Replies
    1. You're not alone, Mba Fannyyy. Aku pun kalau udah kepepet dan kesabaran menipis, kata-kata ancaman pun keluar 🤣🤣🤣 Sebenernya teori udah tau, cuma tuh realitanya nggak selalu mulus, huhuhu. Apalagi soal nemenin anak main tanpa lihat gadget, suamiku suka ngoceh kalau aku pegang hape sambil nemenin anak main, wkwkwk.

      Betul, Mbaaa. Balik lagi ke nilai dan kebiasaan keluarga masing-masing, yaa. Apalagi teori dan pelajaran parenting yang kebanyakan masuk ke kita itu dari luar, meski terdengar bagus tetep semua harus disesuaikan kembali :D

      Delete
  5. MBAAA JANEE AKU PADAMU WIS...
    Duhh kalau baca review'annya Mba Jane tuh SUKKAAAA BANGEET POKOKNYAA. 🥰🥰 *entah kapaan aku bisa bikin reviewan semenarik ini.. haha 😁😁

    Karena bahasanya beneran ngalir dan sopan banget masuk Otak. Ini pasti bakalan jadi ilmu yg bermanfaat banget sih buat aku nnti kedepannya 😆 terimakasih ya Mba.

    Btw aku tunggu tema warna cover bulan februari yesss. 😊😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaaaaah jadi malu-malu Caca aku kannn baca komentarnya Mas Bayu 🤣🙈

      Aku hanya nulis berdasarkan apa yang kurasakan aja kok, hihi. Seneng kalau Mas Bayu bisa ambil sesuatu dari sini, menurutku bukunya pun boleh dibaca untuk sekadar pengetahuan :D

      Sama-sama, Mas Bay! Siapppp, ditunggu segera biar bisa siapkan bukunya! 😁😊

      Delete
  6. Pembahasan yang menarik dari buku yang persentase akan kubacanya kecil, karena aku kok ya sulit bener baca nonfiksi. Heuheu.

    Mungkin unpopular opinion, tapi entah kenapa aku nggak percaya dengan kata unconditional love. Memberikan kasih sayang pada anak dengan harapan dia hidup bahagia aja sudah merupakan tindakan dengan conditional. Dan menurutku gapapa juga kalau memang conditional. Tergantung conditions-nya juga, jangan sampai jadi boomerang. Sama seperti kata mba Jane, rewards dan punishment nggak selalu akan jadi boomerang. Tergantung sikon, si anak, dan si ortunya.

    So, pada akhirnya parenting itu memang tidak ada pakemnya ya, mba Jane. Thanks for sharing :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setelah tahun lalu baca buku fiksi terus, aku pun menemukan sedikit kesulitan untuk memulai baca buku non fiksi lagi, Mba Hicha, huahahaha. Apalagi memang nggak semua cocok dengan buku bacaan tertentu kan, hihi.

      Sudut pandang yang menarik, Mba Hichaa. Thank you so much udah berbagi di sini <3 betulll, semua balik lagi kok pada rumah tangga masing-masing. Nggak selamanya punishment dan rewards itu "nggak baik" menurut apa yang dibagikan dalam buku. Anak yang udah berusaha dengan baik dan dapet nilai rapor ok di akhir semester, mau dikasih hadiah pun tentu bolehhh. Karena akutu tipe mama yang suka kasih rewards kalau anak udah mencapai sesuatu yang kutau dia sulit tapi bisa 😆

      Delete
  7. Buku nonfiksi kalau direview sama temen-temen tuh kayak menarik gitu, tapi kalau suruh baca sendiri hadeeh males banget hahahaha 🙈

    Aah aku sering ga sengaja memperhatikan para orangtua di sekitarku, memang jarang banget sih yang kalau muji anaknya tuh spesifik. Biasanya ya udah anaknya diem aja abis itu. Padahal kayak contoh kamu sama Josh itu, kalau misal kita bisa lebih spesifik mungkin bisa jadi diskusi atau si anaknya jadi makin semangat karena jelas dia ada perkembangan yaa 😁

    Thank you for the review Janee 👏👏

    ReplyDelete
  8. Wow, reviewnya bagus ci! Bikin pengen baca jugaa.. Padahal aku tuh males banget baca buku non fiksi wkwkwkw Baca yang fiksi aja males, palagi yang begini 🤣

    Tapi penjabaran cici menarik dan bikin pengen ikutan bacanya juga!

    Setuju sama Bayu, cc tuh ngereview buku keren!! Kata-katanya ngalir dan pas aja gituuu hahahaha

    ReplyDelete
  9. Ini mah cocok banget lah sama Kak Jane, ulasannya aja kerasa ngalir dan emang sesuai juga dengan pengalaman pribadi ya kak hihihi. Seru kak seru aku suka nih pembahasannya.

    Hoo ini kayaknya masuk ke Teori behavioristik juga ya..dulu pernah belajar nih tapi udah lupa semua deh hahaha. Sering banget dibahas semakin sering dan kuatnya reward itu diberikan pd anak maka akan membentuk kebiasaan perilaku tsb, jadi kayak ada timbal baliknya gitu ya kak. Tapi keponakan aku nih kadang suka ngancem balik kalo kemauannya gak di turutin malahan kasih tawaran pilihan, aku bingung kalo udah kayak gini. Kadang orang tuanya aja udah hopeless hahaa. Di kasih reward bagus sih jadi semangat tapi pas di kasih ancaman hukumannya itu kadang suka di balikkin lagi sama anaknya. Gak paham apakah anak sekarang emang pada pinter ngomong atau terlampau “pintar” ya 😅,tapi bisa jadi ini karena ia mengcopy perkataan orang tua nya juga sih 🤔

    ReplyDelete
  10. aku jadi belajar soal parenting dari baca review mbak Jane
    dan memang bener ya kalau duluuu tuh kadang orang tua suka ngiming-ngimingi anaknya hadiah kalau misalkan berhasil menyelesaikan sesuatu dengan baik
    tapi ini ga berlaku buat aku, seingatku, dulu aku ga pernah diiming-imingi.
    bener juga kalau anak dirayu buat nyelesaikan sesuatu dan ntar dapet es krim, mungkin yang ada di pikiran si anak ya hadiah es krimnya. Noted ahh

    ReplyDelete
  11. Wuaaa, aku selalu suka sama buku2 parenting gini. Masih harus banyak belajar aku tuh dlm ngerawat anak. Trus takutnya jadinya malah trial error trial error klo ga ada ilmunya, huhu.. Apalagi pas anak pertama, kok berasa banyak trial error nya. :D

    Masalah reward n punisment itu aku juga ngerasa kaya gt Mba. Awal2 berhasil, tp kok lama2 malah jd bikin repot. Aku harus baca buku ini nih kayanya. Makasii rekomendasinya ya, Mba Jane ^^

    ReplyDelete
  12. Oooh gitu ya, jadi memuji anak-anak itu harus spesifik dijelasin kenapanya, nggak sekadar memuji aja. Terus yang ngajak anak berpikir nyari solusi tentang merebut mainan temennya itu bagus sih, bisa mendorong anak-anak untuk berpikir kritis. Nggak cuma disodorin begini caranya, harusnya kamu begini blablabla. Ngerasa nggak sih Ci Jane kalau benyak orang yang segenerasi sama kita sekarang lebih aware terhadap gaya parenting yang tidak meneruskan ajaran parenting dari ortunya yang kurang tepat? Contoh: nggak nerusin kata-kata kasar ke anak-anak, karena kita sendiri tau rasanya kalau dikasih kata-kata kasar itu nggak enak wkwkwkwk.

    ReplyDelete
  13. "jangan sampai mama lihat kamu rebut mainan orang lain" saat kita melihat anak merebut mainan temannya di playground. Bisa aja anak tersebut akan berpikir, "Oh well, kalau gitu aku akan melakukannya di saat mama nggak lihat."

    Pinter juga yaa anaknya, cerdik. Dia bisa melakukan itu kalau mamanya ga lihat hahaa 😅😅

    ReplyDelete