Our Relationship Story: Mendadak LDR-an (lagi!)

Wednesday, April 11, 2018


Long distance relationship (LDR) bukan sesuatu yang baru buat kami. Waktu pacaran dulu, kami udah pernah LDR selama hampir 3 tahun, satu tahun Guangzhou-Bogor, 2 tahun Bali-Bogor. Berarti kalau harus jauh-jauhan sementara selama sebulan setengah not a big deal lah ya. Apalagi jaraknya Bali-Bogor juga kok. 

Tapi mengulang pengalaman yang sama kembali dengan status menikah, rasanya kok lumayan berat, ya?

Sebelumnya, ada yang penasaran nggak kenapa harus LDR-an? Nggak ada, ya? Nggak ada yang nanya tetap gue jelasin HAHAHA. Intinya, sih, karena aku harus mengurus beberapa kerjaan di Bali, sementara suami nggak bisa meninggalkan pekerjaannya juga di Bogor. Karena situasinya sama-sama urgent, diputuskan lah untuk menjalani masing-masing dalam jangka waktu sebulan. Toh, habis itu aku harus kembali juga ke Bogor (walau inginnya sih di Bali aja terus-terusan, boleh nggak sih suami ikut kerja di sini ugha)

Awalnya aku agak maju-mundur dengan keputusan ini yang agak mendadak ini. Bisa nggak nih sendirian tanpa suami? Bisa nggak nih ngurus anak tanpa bantuan suami? Wah, ngebayanginnya langsung bikin merinding, hahahaha.

Namun, untunglah alam semesta dan Yang Maha Kuasa mendukung keputusan kami dan anggota keluarga di Bali pun sangat suportif dan membantu banyak dalam mengurus Josh, sembari aku juga menuntaskan segala kewajiban yang ada. 

Bottom line is, LDR kemarin ini nggak seburuk yang aku bayangkan... bahkan aku sangat menikmatinya LOL.

So, what are the major takeaways from this experience?

1. Our (marriage) relationship steps into the next level.

Beberapa waktu lalu, akhirnya aku nonton Sex and The City the movie for the very first time. Buat yang pernah nonton, pasti inget, ya, scene di mana Big mengajukan ide two days a week apart dengan Carrie di sekuel film kedua. Tujuannya, supaya masing-masing dari mereka bisa punya waktu untuk melakukan hal-hal pribadi. Ide ini tercetus karena sebelumnya Carrie minta waktu dua hari untuk menginap di apartemennya dengan alasan pengen nulis. Padahal, sih, sehari sebelumnya mereka saling ngambek karena Big melakukan hobinya di rumah, sementara Carrie gerah sama kelakuan lakinya.

Di samping Carrie yang galau karena dia takut suaminya kebablasan minta waktu lebih untuk sendiri, entah kenapa aku sedikit berpihak dengan Big. Sebagai ibu rumah tangga beranak satu, dua hari seminggu untuk bebas beraktifitas dengan diri sendiri itu super mewah. Membayangkan mau ngapain aja selama dua hari tanpa dibuntutin anak aja udah bikin bergairah sekali lho 😂

Walaupun konteks "two days apart"-nya berbeda, LDR selama sebulan setengah ini aku anggap kurleb sebagai waktu untuk kami berdua "bebas" melakukan apa aja yang kami mau. Hampir dua tahun ini kami sibuk dengan parenthood. Trying so hard not to be sounded like a bad parents, but we needed a break. 

Kami memanfaatkan waktu LDR untuk nge-recharged diri sendiri. Suami yang memulai kembali hobi lamanya—melihara ikan ranchu, gaes!—sementara aku yang akhirnya bisa puas-puasin nonton film yang selama ini banyak tertinggal (hey Coco, hey Wonder, hey The Greatest Showman... and so much more!). 

Jadi, saling kangen nggak, sih, selama LDR?

Kalau dari aku pribadi, jujur aja nih... kangennya baru berasa ketika kami bertemu kembali saat suami jemput di bandara. Ciyeeeh. Langsung mikirin adegan cheesy ala romantic movie gitu nggak? 😝 

Pepatah yang bilang—kita nggak akan tahu seberapa rindu (duilee... Dilan kali rindu) dengan seseorang, sampai orang tersebut jauh dari kita—adalah benar sebenar-benarnya. As much as we enjoyed our time alone, we also begin to cherish our marriage even more. 

2. Happy mom equals happy baby. 

Aku cukup kaget bahwa ternyata aku nggak sepusing itu mengurus Josh tanpa suami. Padahal biasanya aku gampang burn out, apalagi kalau si bocah udah mulai tantrum. Barulah kusadari, peran keluarga di Bali sangat membantu aku dalam mempertahankan kewarasan sebagai seorang Jane dan seorang ibu.

Namanya tinggal bareng dengan orangtua sendiri dan mertua itu pasti beda banget, kan? Mungkin gara-gara faktor itulah ngaruh banget ke kondisi psikis dan mental eike, HOHO.

Dengan orangtua sendiri pastilah lebih nyaman berpendapat dan berekspresi. Kalau mau protes suatu hal, apalagi yang bersangkutan tentang anak, tanpa sungkan kita pasti ngomong aja gitu blak-blakan. Begitu juga sebaliknya, nggak gampang sakit hati kalau mereka berkomentar... ehm. Dan ternyata ini juga ngaruh ke Josh, lho. Emaknya selow, anaknya pun ikutan selow.

Aku nggak pernah pusingin tentang polah makan Josh selama di Bali. Mau makan seberapa pun aku nggak maksa untuk habis. Sekarang anaknya juga udah doyan ngemil. Aku pun nggak larang selama masih dalam batasan dan pengawasan, ya. Karena emaknya nyante, anaknya pun nggak stres lagi soal makan. Dia mulai mikir kalau makan itu adalah salah satu aktifitas yang menyenangkan (ah, masa?). 

Sampai akhirnya suatu hari di Minggu siang, tanpa ekspektasi apapun Mama Josh mencoba menyuapi Josh sesendok nasi hainam buatan Poponya. EH, ANAKNYA MAU DAN DITELAN DAN MINTA LAGI!

Sumpah, ini senangnya melebihi apa pun lho! 

Tentu saja aku nggak langsung cekokin semangkok full nasi untuk makan malamnya. I don't want (and never will) set expectation high about his eating habit. Aku coba kasih porsi dalam jumlah sedikit, yang penting anaknya mau makan. And thank God, sampai hari ini anaknya nggak nolak nasi (walaupun kalau lagi nggak mood, ya ditolak juga). 

Side note, Josh belum begitu suka nasi polos tanpa bumbu atau saus atau kuah. Doesn't matter, sing penting anakku akhirnya makan nasi! OLEEEE!

3. We learned how to grow a business... and it's definitely not easy.

As I mentioned before, salah satu alasan kenapa harus tinggal di Bali lamaan, karena memang ada bisnis yang harus dikerjakan. Monmaap, belum bisa diceritakan lebih lanjut tentang apa bisnisnya. Yang pasti masih berhubungan dengan bisnis keluarga di Bali, sih.

As much as I enjoy being a mom, but sometimes I think it doesn't enough. Pengen rasanya berkarir lagi, mengerjakan sesuatu di luar hal domestik. Kerja kantoran nggak dalam pilihan, memulai usaha sendiri (mungkin) bisa menjadi pilihan yang lebih baik. And I was beyond grateful I got the chance to begin with that dream, meskipun harga yang harus dibayar adalah: jauh-jauhan dengan suami.

***
Dalam sebuah pernikahan, pasti ada aja, kan, pengalaman-pengalaman di luar dugaan. Tapi buat kami, pengalaman apa pun itu selama dijalaninya ikhlas, pasti akan membuahkan hasil manis dan positif. Pengalaman LDR kami mah terbilang cupu kok. Aku pernah dengar cerita lainnya yang lebih menantang, salah satunya Mami Gesi yang sampai hari ini masih LDR-an sama suami (semangattt, Mamiii!).

Cuma ya kita nggak pernah bisa membandingkan pengalaman diri sendiri dengan orang lain. Masing-masing pasangan pasti ada pergulatannya sendiri, toh. Yang penting aku berdoa supaya pernikahan kita semua bahagia dan akur-akur, yaa. Aminnnn. 

Oh ya, banyak yang nanya juga berkaitan tentang LDR ini. Josh nyariin papanya nggak, sih?Jawabannya: nggak. HAHAHA. Anak seumuran Josh rasanya belum begitu paham yang namanya kangen kali, ya. Buat dia yang penting emaknya (dan pabrik nenennya) selalu ada, nothing to worry about.

Tapi yang bikin mellow, tiap kali dia liat foto bapaknya di hape, dia nunjuk-nunjuk sambil ngomong "papa... papa...". Berarti sang papa boleh bernafas lega, karena si anak nggak lupa siapa papanya, hihi. And thanks to internet, video call membantu banget mengobati rasa kangen kami bertiga.

Jadiiii, apakah ada yang pernah atau malah sedang LDR-an? Monggo jika berkenan diceritakan pengalamannya di bawah, yaa (:

1 comment:

  1. Hehe, cici udah pernah ngalamin ini loh! Jakarta-Bali selama 5 weeks nonstop karena suami bertanggung jawab untuk ngurus seluruh kebutuhan koneksi internet dan wifi mulai dari bandara sampai conference hall selama konferensi APEC, dan saat itu usia Abby belum setahun. Hampir tiap malam kita video call, beneran deh jauh di mata dekat di hati. Tapi yang jelas, begitu balik ketemu lagi, bikin kangen setengah mati.

    ReplyDelete