Our Marriage After Baby

Saturday, May 26, 2018


Tahun ini kami bakal melewati tahun pernikahan yang ketiga. Kalau dipikir ulang, rasanya bingung sendiri bisa melalui pernikahan selama tiga tahun (dengan satu anak pulak) ini gimana caranya. How do we survive tho?

Inget banget waktu awal kami menikah, beberapa teman dekat melontarkan pertanyaan seperti, gimana sih perasaannya jadi istri orang, how marriage really works dan sebagainya. Karena waktu itu masih fresh from the oven, aku hanya bisa memberikan jawaban klise: everything is great and on the track.

Tiga bulan menikah, puji syukur kesempatan hamil langsung diberikan kepada kami.

My first pregnancy was great. Pengalaman hamil pertama itu enak banget. Nggak pernah ada yang namanya muntah-muntah, mual pun jarang. Nggak ngidam yang aneh-aneh, berat badan juga nggak naik drastis. Intensitas sayang-sayangan dengan suami juga makin sering selama kehamilan ini.

The real challenge came after our son was born.

Yang tadinya masih di honeymoon period, tiba-tiba ada additional member yang harus diberi perhatian lebih. Prioritas pun bergeser, termasuk pernikahan kami. Semuanya terpaksa harus dikorbankan demi anak. Mau nonton film terbaru di bioskop? Skip. Mau nyobain restoran baru yang lagi hits di dalam kota? Skip.

Tau nggak sih, jarak di hari kami resmi menikah dengan punya anak itu kurang lebih dari setahun. Kasarnya, jadi pasutri aja belom "kerasan" banget, tau-tau udah harus menjalani peran baru sebagai orangtua.

Hari-hari di mana kami belajar menjadi orangtua itu sulit banget. Komunikasi dengan suami perlahan berkurang, yang ada keseringan berujung pada kesalahpahaman. Beberapa minggu setelah pulang dari rumah sakit, aku mulai merasa kewalahan mengurus Josh sendirian. Belum lagi ada beberapa masalah domestik yang bikin kepala ini semakin penat. Bahkan aku sempat konflik kecil dengan mertua karena suatu dan lain hal. Aku mencoba untuk 'mengadu' masalah tersebut dengan suami. Berharap ada sedikit pembelaan, eh malah aku yang diminta untuk lebih pengertian. Sebagai ibu baru yang sedang bingung dengan perubahan hormon, aku pun sedih berat. Setelah curhat dengan seorang teman, baru deh tau kalau aku sedang mengalami fase baby blues dan ia menganjurkan untuk cerita  apa adanya ke suami supaya ada mental support dari orang terdekat.

Aku coba kembali untuk menyampaikan apa yang sedang aku rasakan ke suami. Agak lupa sih responnya gimana. Cuma karena waktu itu Andreas juga sedang beradaptasi menjadi ayah baru, dia pun agak merasa burnout. 

Hari-hari berlalu dan kami makin merasa butuh waktu hanya untuk kami berdua aja. Namun, dengan kondisi punya balita yang berusia hampir 2 tahun, no nanny, kami belum tentu bisa menghabiskan waktu di luar. Anak mau dititip ke siapa, kan?

Terus, gimana dong supaya tetap bisa punya quality time bareng pasangan? Gimana caranya supaya tetap romantis kayak pacaran dulu? Gimana supaya punya pernikahan yang sehat?

1. Jaga komunikasi dengan pasangan.

Kami pasrah dan menerima kenyataan bahwa belum bisa pergi date night berduaan tanpa anak. Pernah sih nge-date berduaan, cuma dua kali dan dua-duanya dilakukan waktu kami pulang ke Bali. Lumayan ya, sist. Sekalinya pacaran bisa di Bali. Meski durasinya hanya satu jam, but it was great. Karena waktunya nggak banyak, kami memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. No gadget at all (kecuali ngecek WA dari orangtua yang lagi dititipin Josh), just having quality talk.

Selebihnya, waktu berdua kami itu paling sering dihabiskan sebelum bobo malem. If we're lucky enough, Josh bisa bobo pagian, kamu bisa masuk ke sesi yang lebih intimate. Nggak perlu dijelasin kali ya ngapain di dalam sesi ini, hahahahaha.

Belajar dari pengalaman sebelumnya yang dikit-dikit sering berantem atau salah paham gara-gara cara komunikasi yang salah, makin ke sini pun kami belajar untuk bisa memperbaiki poin krusial ini. Pokoknya setiap ada waktu untuk ngobrol, entah waktu di jam makan malam, leyeh-leyeh sambil nonton TV, nemenin Josh main, we try to build our communication. Nggak harus ngomongin yang berat-berat. Aku dan Andreas malah keseringan ngakak bareng karena cerita hal-hal receh.

Kadang aku suka iri dengan pasangan yang bisa curi waktu untuk pacaran keluar rumah.  Bahkan ada yang bisa travelng ke luar negeri tanpa anak. Kalo udah mulai kecemburuan sosial kayak gini, suami langsung negor. Jangan pernah iri-irian sama orang lain apalagi yang cuma dilihat dari sosmed. Di balik kesuksesan pasangan yang bisa nge-date tanpa anak, pasti ada usaha yang nggak terlihat.

Jadi, gapapa kalau emang belum bisa pergi berduaan. Diikhlasin aja. Yang penting komunikasi dengan suami makin lancar. Nanti kalo udah rejekinya, pasti bisa juga, yaa *aminnn*

2. Just talk it out. 

Siapa yang di sini udah second guessing duluan kalo mau ngomong sama suami?

"Dia marah nggak ya kalo minta gantian jaga anak dulu?"

"Ah, kayaknya dia ngantuk dan nggak bakalan mau denger gue ngomong. Besok-besok aja, deh."

"Duh, kayaknya dia sibuk. Ngajak keluar makannya kapan-kapan aja deh."

Karena nggak berani untuk mengutarakan isi hati, akhirnya aku hanya bisa berekspektasi dengan suami. Bahayanya kalo cuma punya ekspektasi, kita bakal cepet kecewa dan menganggap suami nggak ngerti maunya kita. Istri kesel, suami bingung. Skenario yang familar bukan?

Udah capek ngurus anak dan rumah, ditambah lagi konflik dengan suami, energi pun habis untuk hal-hal yang sifatnya negatif. If we want to make this marriage works better, I don't need to be afraid to ask a favor from my husband. Sekarang ini, kalo kebetulan melihat aku lagi sibuk, Andreas bakal menawarkan bantuan tanpa aku minta lebih dulu. And he will do it without a word of complaint. 

Keterbukaan dalam pernikahan tuh sangat membantu untuk meminimalkan pertengkaran. Kami berdua nggak lagi menyimpan asumsi sendiri. Nggak juga menerka-nerka pikiran yang ada di kepala pasangan. Juga nggak ada lagi drama sok diem-diemanbiar aja gue diem sampe dia sadar sendiri mau gue apakarena suamiku bukanlah seorang cenayang. 

3. Learn about each other love languages.

Duluuu banget waktu masih pacaran, kami pernah mencoba sebuah test yang memberikan hasil tentang love language yang kita miliki. For those who don't familiar with this test, basically we just have to answer some of questions and at the end we will get the result of our love languages. 

Ada lima jenis love language: words of affirmation, acts of service, receiving gifts, quality time, physical touch.

Andreas: 
1. Quality time: penting banget untuk menghabiskan waktu dengan suamiku tersayang ini. Makanya doi suka bawel kalo lagi pengen berduaan, akunya malah multitasking dengan gadget, ngecek sosmed maksudnya. Ini nggak baik, mohon jangan ditiru.

2. Words of affirmation: men and their pride. Suami itu paling senang kalo dipuji atau sekedar mendengar "thank you" di saat mereka sudah melakukan sesuatu yang tujuannya untuk menyenangkan kita para istri.

3. Physical touch: did ya know, kalau nggak salah ingat waktu pacaran dulu poin ini ada di urutan pertama atau kedua. Karena masih berstatus pacaran, jujur aku agak bingung bagaimana "berkomunikasi" lewat sentuhan fisik dengan Andreas. Sentuhan fisik nggak berarti selalu vulgar, because that was I thought before too! 😅

Sentuhan fisik itu banyak jenisnya, seperti gandengan tangan waktu jalan bareng, pegangan tangan waktu ngobrol, pelukan, gentle back rubs, dll. Waktu itu aku beneran no idea poin yang satu ini sangat berarti buat Andreas. Meski sekarang turun peringkat, tetep PR buatku untuk lebih peka terhadap kebutuhan suami yang satu ini.

4. Acts of service: selain masak dan menyiapkan makanan, aku jarang banget sih melakukan sesuatu untuk suami.

5. Receiving gifts: seberapa sering aku ngadoin Andreas itu bisa dihitung pake jari. Anaknya juga woles banget sih kalau dikasih sesuatu yang berbentuk barang. Dikasih botol shaker buat nge-gym aja udah seneng banget. Andreas tipe yang lebih menghargai proses dibalik sebuah pemberian. Aku pernah iseng bikin homemade chocolate dalam rangka Valentine pas tahun kedua kamu pacaran.  Aku masih ingat ekspresinya waktu dia terima kotak makanan yang berisi cokelat tersebut. Dia nggak peduli cokelatnya enak atau nggak, dia jauh lebih terharu dengan niat dan proses di balik pemberian cokelat tersebut. Sweet, kan? Btw, cokelatnya sih enak, soalnya ludes dimakan sendirian.

Jane:
1. Acts of service: cukup kaget mendapati hasil primary love language aku yang berubah setelah menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Memang ya, ibu-ibu itu paling gampang dibuat senang, hanya karena suami bisa membantu perintilan domestik atau sesimpel mandiin dan nemenin anak main.

2. Words of affirmation: apresiasi melalui kata-kata juga sangat berarti buat aku. Mudah-mudahan suatu hari bisa dapet pujian dari suami, "Kamu kurusan, ya?" atau "Kamu sekarang lebih slim, deh." *NGAREPPP*

3. Quality time: I always thought this was my primary language, karena aku senang menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat. Tapi nyatanya, semenjak jadi mama aku lebih suka menghabiskan waktu dengan diri sendiri alias me time. Mungkin ini kenapa aku jarang berinisiatif untuk ngajak suami untuk nge-date. Tapi sekarang aku mau kok.

4. Physical touch: pelukan di saat bete atau dapet pijitan gratis waktu capek adalah sebuah kemewahan.

5. Receiving gifts: aku tuh seneng lho kalo dikasih kado, tapi ternyata poin ini malah ada di urutan paling akhir. Berarti sebenarnya kado itu itu nggak terlalu penting juga ya? Ini aneh sih. Aku beneran seneng kalo tiba-tiba dikadoin. Ini semacam matre, ya? 😂

Setelah kita belajar tentang bahasa kasih yang kita punya, komunikasi pasti jadi lebih gampang deh. You will be surprised that both of you have special way to communicate.

Btw, untuk yang belum menikah atau masih pacaran, I highly highly recommend to take the test too.

***
It's true what they said: getting married is easy, staying married is hard. Karena untuk mempertahankannya butuh perjuanga. Bukan suami atau istri aja yang berjuang, tapi dua-duanya.

Aku tutup postingan ini dengan penggalan kalimat dari sebuah artikel di situs Parents yang berbunyi demikian:

"If you work on the marriage and make it better, it can be wonderful for everyone."

Nggak cuma kita sebagai pasangan merasa lebih baik, anak pun bakal menerima pengaruh positif dari keharmonisan orangtuanya.

Remember this right? Happy parents means happy children.

So, how do you guys stay happily after kid(s)? 


Beberapa artikel sebagai referensi tulisan ini dan juga inspirasi untuk pribadi:

5 comments:

  1. Yes setuju, happy parents are happy kids. Aku juga dapet soal itu dari parenting class di gerej. Kalau mau didik anak dgn bener, hub sama pasangan hrs bener dulu. Makanya penting utk bisa tetep dating setelah menikah. Ga hrs keluar rumh, tp yg penting komunikasi ttp lancar ya. Emang bener kids change everything ya. Belajar jdi istri susah, ditambah lagi belajar jdi ibu hehe. Semangat jane!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, setuju. Karena anak bercermin dari kaca orangtuanya, ya. Kalau orangtuanya akur dan harmonis, anak juga pasti tumbuh dengan karakter yang baik. Semoga kita terus semangat belajar jadi ibu dan istri yang soleha ya, ci. Hahaha :D

      Delete
  2. Eh, kamu kurusan ya jane?!

    Ketemu aja bloman so muji2! HAHAAHAHA ... oh well, marriage life after kids is tough but it's worth kalo kamu jalanin dengna orang yang tepat ya ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah kamu, ngeledek ya?! *serba salah* hahahaha

      Ah betul sekali. Bersama orang yang tepat akan selalu lebih mudah, ya. Jiayouu for us!

      Delete
  3. Ah thanks for the love test recommendation.. mau coba juga ah take test ini sama suami 😁😁

    ReplyDelete