Books Love: Review Cerita Mamah Muda - Me Time

Saturday, January 16, 2021


Bisa dibilang nggak sengaja menemukan judul novel ini di Gramedia Digital saat mencari karya lainnya dari Mba Ruwi Meita setelah menyelesaikan Rumah Lebah. Tanpa disangka nama beliau 'nyangkut' di kumpulan cerpen Cerita Mamah Muda: Me Time. Wah, penulis thriller ikutan nulis tentang dunia mahmud apa jadinya nih? 

Saat membaca judul dan sinopsis, udah ketebak banget isi novel ini akan seperti apa. Dan udah menjadi rahasia umum, yang namanya ibu itu memang susaaaaah banget melakukan me-time. Sekalinya me-time, malah feeling guilty. Emang ibu-ibu itu susah dimengerti *ngomongin diri sendiri* 

Begitu juga dengan kisah keempat ibu yang ditulis oleh empat penulis berbeda ini. Kita bahas satu per satu, ya 🙂


Save The Last Dance (Lea Agustina Citra) 
Maya, si ibu rumah tangga beranak tiga yang mendadak baper karena anaknya yang baru berusia 4 tahun bertanya polos, "Mama pengangguran ya? Kok di rumah aja?". Gara-gara pertanyaan tersebut, Maya malah menyalahkan sang suami, Reno, yang sibuk karena karirnya sebagai dokter, sehingga nggak punya waktu untuk membantu Maya dalam mengurus rumah. Bahkan sekadar me time aja pun nggak bisa. 

Saat hari ulang tahun Maya, Reno mengambil inisiatif untuk mengambil cuti sehari dan menjaga anak-anak di rumah, supaya Maya bisa me time sepuasnya selama satu hari. Sayangnya, Reno ada panggilan mendadak dari rumah sakit dan Maya pun gagal melewati hari spesialnya. 

Maya kecewa berat karena merasa Reno lagi-lagi nggak menepati janjinya. Dia tertidur dan saat terbangun dia kaget sejadi-jadinya karena mengalami dunia yang 180 derajat berbeda. 

Setelah Fio Hadir (Ken Terate) 
Asti bekerja sebagai penyiar radio paruh waktu yang lagi mumet ngurusin bayi perempuannya bernama Fio. Sebagai ibu baru, tentu saja dia sulit percaya meninggalkan sang bayi pada orang lain, sekalipun itu Edo, suaminya sendiri dan juga mertuanya yang demanding. Padahal Asti ingin banget kembali bekerja seperti semula, namun di saat yang bersamaan ia juga ingin bisa mengasuh anaknya sendiri. 

The Singing Coffin (Ruwi Meita) 
Diani adalah seorang wanita biasa yang mencintai segala macam tentang bunga dan mempunyai 'kemampuan' mendengar 'suara' dari peti mati apabila ada seseorang yang akan meninggal. Bakat spesialnya ini ternyata diturunkan dari sang ibu yang dulu pernah bekerja di toko peti mati. Bertahun-tahun Diani seperti sengaja menenggelamkan dirinya sendiri pada pekerjaan, sampai akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang malah membawa dia kembali menjejaki masa lalu yang masih bersangkutan dengan sang ibu. 

Pangeran untuk Nina (Mia Arsjad) 
Tipikal cerita komedi romantis di mana Nana, seorang single mom yang bekerja juga pecinta kucing, mendadak dibayarin tiket pesawat ke Bali untuk menghabiskan me time bersama sahabat oleh pacar gantengnya. Bukannya leluasa menikmati liburan, Nana malah dibuat pusing karena mikirin kucing-kucingnya di rumah dan meragukan kemampuan sang pacar dalam menemani putrinya, Nina, untuk mengerjakan pekerjaan sekolah. 

Tiket (Donna Widjajanto) 
Last but not least (karena ini juga yang menjadi favoritku), ada Illiana seorang mama muda yang nggak sengaja lupa membeli tiket bagi diri sendiri untuk liburan keluarga. Kesengajaan tersebut malah memberikan kesempatan bagi Illiana untuk menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri, merenung dan mencoba untuk menemukan jati dirinya kembali... sebenarnya siapa, sih, seorang Illiana tanpa embel-embel ibu maupun istri? 

💆‍♀️
Sebelum menulis pendapatku tentang buku ini, mungkin ada yang bertanya-tanya (mungkinnn...). Kenapa, sih, perkara me time itu sering baaaanget dibahas di kalangan ibu-ibu? Emangnya sesulit itu untuk menghabiskan waktu sendirian? Emangnya sepenting itu juga untuk me time

Karena akutu pernah lho baca di Twitter kalau nggak salah. Ada kaum ibu-ibu dari generasi X yang ngerasa ibu-ibu angkatan milenial muda terlalu manja. Halah, baru punya anak satu aja udah ngeluh nggak bisa me time. Ya terus ngapa kalau gue ngeluh?? *mendadak ngegas*

Menurutku sendiri, mau ibu-ibu, bapak-bapak, kakak-kakak, adik-adik, siapapun diri kalian berhak punya me time kok. Nggak perlu justifikasi berlebih untuk sekadar me time, karena secara psikologis me time itu memang disarankan dan banyak manfaatnya. Jadi nda perlu laah kita saling debat soal me time. Yang penting urusan domestik, anak dan suami tidak terlantarkan, bukankah demikian? :D 

Oke, sekarang my two cents 'bout this book, ya! 

Meski sebetulnya aku bisa menemukan sebagian kecil diriku sendiri pada ketiga cerita di atas (cerita Diani nggak masuk hitungan karena aku nggak punya pengalaman semistis itu 😂), tapi kalau  disuruh milih cerita mana yang paling relate dengan kehidupan pribadi, udah pasti ceritanya Illiana, di mana dia menikah muda (di usia 20 kalau nggak salah) dan akhirnya dealing with quarter life crisis di saat sudah beranak dua dan pekerjaan yang dia sendiri nggak tahu kenapa dia melakukan pekerjaan tersebut. 

Buka rahasia dikit, yak. Di antara lingkaran pertemananku, kebetulan akulah yang pertama kali nikah duluan di usia 24 tahun. Tergolong nikah muda nggak tuh? Menurutku, sih, iyaa. Karena setelah menikah setahun dan langsung punya anak, aku merasa kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi diriku sendiri di dunia luar.  Di saat teman-teman lain galau dalam pencapaian karir di usia 25an, aku malah sibuk mikirin bayi bagusnya pake popok sekali pakai apa clodi. Karena beda dunia, tentu aku nggak punya teman curhat satu frekuensi, dan ujung-ujungnya baby blues deh

Dua tahun ngurus Josh sendirian tuh rasanya nano-nano. Ya capek, ya seneng, ya lebih banyak capeknya, sih. Meski aku berusaha untuk colong-colong waktu untukas you calledme time, apapun itu bentuknya, paling hanya bertahan beberapa menit, kalau nggak setelah itu diteriakin bocah, "Mamaaaaaaaa!". 

Aku mulai ngerasain me time beneran (emang ada yang boongan??) di saat Josh udah disapih, dan benar-benar bisa me time dengan sempurna (jadi me time itu sebenernya ada berapa level, sih, bund? 🤣). 

Awalnya aku sama seperti Asti, dugun-dugun sekali ninggalin bocah sama papanya supaya bisa 'kabur' 1-2 jam untuk ketemuan bareng teman, ngopi sendirian atau nyalon. Segala sesuatu butuh momen "pertama kali", begitu juga me time setelah punya anak. Kuncinya, percaya aja deh sama yang bantu jagain anak kita, apalagi kalau orang tersebut adalah suami atau orangtua maupun mertua sendiri. 

Me time itu nggak egois. Jadi jangan pernah feeling guilty kalau memang sedang membutuhkannya *ngomong sama diri sendiri*. Di sinilah kita butuh komunikasi yang baik dengan pasangan. Sampaikan aja ke pasangan, kalau kita lagi butuh sendiri, bisa nggak dia bantuin kita untuk mewujudkannya. Jangan berasumsi kalau si doi terlalu sibuk kerja sampai nggak merhatiin kebutuhan istrinya. Namanya suami ya kewajibannya kerja, dan kalau nggak ngomong langsung maunya kita tuh apa, sampai seluruh rakyat Indonesia bersedia vaksin Covid pun, ya dia nggak akan tahu 😜 

Dunia ibu-ibu itu memang nggak pernah habis untuk dibahas, ya. Sampai me time ala ibu-ibu aja bisa dijadikan satu buku segala, hihi. 

Buku ini cucok banget lah untuk nemenin waktu me time kalian. Dan yang pasti, saat membaca buku ini kalian nggak akan merasa sendirian lagi menghadapi lika-liku dan pergulatan motherhood. We're in this together, mums! 

27 comments:

  1. Aku juga udah baca buku iniii, pernh nulis di blog juga. Dan kaya Mba Jane, ada curhat colongan juga di akhir review waktu itu 😂😂 Soalnya baca ini jd ngerasa related bangeet.
    Klo aku paling suka yg Singing Coffin, bawaannya merinding soalnya pas baca. Hehehe..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah iya, Mbaa. Waktu Mba Thessa komen di story-ku kemarin, aku langsung baca review-nya di blog, dan emang rasanya nggak afdol kita sesama emak nggak curcol di dalam review sebuah buku yaa 😂 The Singing Coffin unik sekali ceritanya, aku sampai mikir "ini tuh bagian me time-nya yang mana sih" aahahaha sampai baca dua kali baru paham maksudnya hihi

      Delete
  2. Sepertinya karya Ruwi Meita nggak ada yang nggak unik ya, Ci? 🤣 Bahkan cerpennya aja menangkat kisah yang unik banget 😂

    Berhubung aku belum menjadi seorang ibu, aku hanya bisa membayangkan aja bagaimana nggak mudahnya menjadi seorang ibu 😂 baru dibayangkan aja udah lelah sendiri, bagaimana dengan yang telah menjalaninya? 😂. Aku setuju bahwa siapapun berhak memiliki me time agar tetap waras, jadi sebisa mungkin untuk saling menghargai orang-orang yang sedang "me time".

    Sepertinya kumcer ini akan lebih relate kalau aku udah berkeluarga nanti 🤣. Kalau baca sekarang, malah jadi takut punya anak nggak nanti 🤣

    Thank you for sharing, Ci Jane ❤️. Semoga Cici bisa dapat jatah me time soon 🤭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hauhaha sepertinya memang beliau udah terikat dengan genre 'dark'-nya yaa, jadi nulis tentang mamah-mamah aja bisa jadi seperti ini 😆 tapi justru gara-gara ada namanya Mba Ruwi Meita aku malah jadi baca kumpulan cerpen ini, Lii hahahaha

      Nah iya betul, sebetulnya punya anak nggak sehoror itu sih, tapi ya capek sama sabarnya itu lhooooo 😤 jadi dimohon menyetok kesabaran mulai dari sekarang, Li wkwkwk

      Thank you juga sudah membaca, Lii! Ini lagi diusahakan colongan me time sesering mungkin mumpung masih pandemi, suami lebih sering di rumah dan bayi masih dalam perut XD

      Delete
  3. Menarik nihh bukunyaa, ide ceritanya sederhana tapi relate banget sama ibu-ibu yg suka bingung untuk me time.

    Sejujurnya kehilangan Baby E dan WFH bikin aku jadi refleksi. Kebayang di masa ketika aku merawatnya dan tahun kemarin proses aku jadi ibu baru, apa aku bisa me time walaupun lagi WFH?

    Trus kepikiran juga kalau uda punya anak, gimana waktu dengan suami, teman, kerjaan, hobi, me time, dll dll dll. Jadi banyaak pertimbangan hhha.

    Sampai pernah nemu tulisan, lupa di instagram ato di mana. Ada yg bilang daripada di tanya "Kapan punya anak?, Mending bertanya "Apakah saya udah siap jadi seorang ibu?"

    Tapi pertanyaan siap dan ga siap yaa tentu ga ada jawabannya. Kalo ngeliat jadi seorang ibu bisa sulit utk me time, mungkin jawabannya akan ga siap punya anak.

    Tapi kembali lagi tergantung kita nya. Seperti kata Ci Jane yg penting ada komunikasi dg suami dan keluarga. Setuju sama Ci Jane kalo kita perlu percaya juga sama orang yg kita mintain tolong utk jaga anak.

    Terpenting, me time itu perlu walaupun peran sudah berubah menjadi seorang ibu. Semangaaat Ci 💪 Semoga bisa me time dengan nyaman yaaa 😉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa, Dev. Baca buku ini serasa punya 'teman' seperjuangan meskipun drama dan pergumulannya berbeda-beda hahaha

      Tentang "siap nggak siap" memang nggak pernah ada jawaban pastinya ya, cuma kita yang tahu momen "oh gue udah siap" dalam hal apapun termasuk tentang punya anak. Dan sebetulnya nggak perlu pusing mikirin bisa me time atau nggak nanti kalau jadi ibu, karena kan memang tanggung jawab kita nambah yaak 😂 kalau memang udah kelelahan, kita bisa ambil break dan komunikasikan kebutuhan tersebut ke pasangan.

      Semangat buat kamu juga yaa, Dev! Nikmatilah waktu yang ada sampai nanti Tuhan mengizinkan lagi untuk menghadirkan malaikat kecil sebagai dedeknya baby E *aminnnn* 😆❤

      Delete
  4. Judulnya sih imut ya THE SINGING Coffin, tapi serem juga bakatnya😭

    Soal ibu-ibu gen X vs buibu milenial ini komenku hanya satu: yaudah biarin aja me time, beda generasi beda kebiasaan😂

    Semangat Ci Jane dan mamah-mamah lainnya, kalian hebat! Puyeng banget rasanya lhoh kalau mamak-mamak ini sampai kecapean terus bed rest, hnhghghg🙏🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kagak ada imut-imutnya juga sih begitu ada selipan "coffin" di judul wkwkwkwk nggak nyangka juga ternyata malah ada yang punya bakat seperti itu *ketok-ketok meja*

      Huahahaha embyer! Aku lebih pusing sama mereka yang ribut-ribut nggak jelas, Ndaah. Cukup sudah aku pusing sama urusan di rumah, makanya konsumsi konten kayak gitu dikurang-kurangi saja biar hati tenteram 🤣

      Delete
  5. Saya penasaran sama kelanjutan cerita Maya, jadi mau baca bukunya 🤣

    By the way, me time itu normal dan sangat diperlukan untuk kesehatan mental, jiwa, raga dan otak kita, mba. Saya yang belum punya anak saja, selalu merasa butuh me time, apalagi mba Jane dan banyak ibu di luar sana, pastinya sangat amat perlu punya waktu khusus untuk me time agar tetap sehat 😆

    Dan saya yakin, ibu-ibu gen X itu pun melakukan me time, cuma namanya beda 😂 Well eniweis, terima kasih review bukunya, mba ~ kayaknya akan ada banyak ibu-ibu yang relate dengan berbagai cerpen yang ada di dalamnya 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Eno sudah langganan Gramedia Digital, kan yaa? Nahhh, bisa ditengok tuh Mba kelanjutan cerita Maya, pasti terkejut deh 😆

      Betul banget, Mbaa. Siapapun berhak memiliki me time ya, meski caranya aja yang berbeda-beda. Dulu waktu single mungkin aku bisa me time keliling mall atau nongkrong di kafe sendirian berjam-jam, sementara sekarang setelah punya anak aku udah bisa puasss me time selama beberapa menit menikmati kopi yang masih panas 😆

      Sama-sama, Mba Eno! Aku memang merekomendasikan novel ini untuk mengisi me time ibu-ibu di luar sana sekalian melepas jenuh hihi

      Delete
  6. Smeangat yo mama Janeee!!

    Wah baru tau nih mba Ruwi meita nulis cerita lintas genre, tapi tetep ya kisah yang dibawakan oleh mba Ruwi membawa kesan misteri wkwkwkw.

    walau aku belum menikah, setidaknya aku pernah melihat langsung pengalaman menjadi istri sekaligus ibu dari kakakku sendiri, dan wow emang berat sekali ya kak! Me time itu sangat diperlukan, apalagi kalau yang punya anak dengan jarak yang berdekatan #halahakusotoy :p

    aku ketawa pas baca Josh manggil "MAMAAA" setelah kak Jane baru ngerasain me time beberapa menit, keponakanku juga gitu kak! jadi banyak belajar juga nih sekaligus dari kakakku sendiri dan dari kak Jane. anyway, udah baca Rumah lebah? gimana menurut kakak? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaahaha Mba Ruwi sepertinya memang nggak bisa meninggalkan kesan dark-nya itu ya, Nis XD

      Akutu sedikit heran dengan mereka yang 'merekomendasikan' punya anak engan jarak berdekatan supaya capeknya "sekalian", termasuk mamaku yang ngomong begitu. Karena kebetulan aku dan adikku hanya berjarak 2 tahun. Tapi setelah mengasuh Josh setahun pertama, rasanya ENCOK yaaa bokkk wkwkwk ogah ah capek sekalian, mending capeknya dibagi dua aja biar nggak terlalu stres 🤣

      HUAHAHA classic scenario of motherhood banget nggak sih itu 🤣🤣 perasaan baru masuk kamar mandi 1 menit aja udah langsung direcokin depan pintu (':

      UDAH SELESAI BACA, NISSSA DAN BAGUS BANGET 😭 Nanti aku review di episode JanexLia mendatang, ditunggu yak!

      Delete
  7. aku juga nikah umur 24 tahun #berarti tergolong muda ya kalau versi di jakarta xixixixi...tapi kalau versi di kampungku uda ngepas bener ngepres usia orang nikah...soalnya banyak yang lebih muda dari itu uda kawinan kalau di kampung halamanku mba jane

    cuma emang aku ga langsung hamil sih, jadi ada jeda 3 tahun baru punya bayi..tapi itu berturut2 langsung 2 jarak deket cuma 13 bulan adek ama kakaknya

    jadi yaaaps...me time itu penting banget. dan me time aku adalah latihan nulis cerita meskipun kebanyakan halunya dan ga sesuai ama modelan novel hahahha
    tapi so far itu yang bikin aku bahagya dengan segala keremponganku jadi ibu tanpa art...jadi ya setiap orang punya struglenya masing2 yes hahahha

    kalau mengenai bukunya..paling tertarik yang cerita diani bisa dengerin sesuatu dari coffin..ya Alloh serem banget rapi kok bikin penapsaran ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiii Mba Nita, apa kabarnyaaa? Lama juga yaa kita nggak bersua :D

      Iya, Mbaa. Menurut masyarakat ibu kota usia 24 itu tergolong muda sih, apalagi langsung punya momongan. Soalnya teman-teman seusiaku aja banyak yang baru nikah tahun kemarin ini.

      Owalah anakmu cuma beda 13 bulan, Mbaaa? Astagaa aku ngebayanginnya langsung pusing wkwkwk tapi betul yang Mba Nita bilang, para ibu memilih medan perjuangannya sendiri, jadi apapun itu tantangannya ya dihajar dan dinikmati aja yaa, Mba :D yang penting hati tetap bahagia dan waras hahahaha

      Tuh kan, banyak yang penasaran dengan cerpen peti matinya huhuhu emang unik banget cerpen yang itu ):

      Delete
  8. Dulu waktu SMA saya tuh pernah punya cita-cita nikah umur 23 tahun. Buat saya yang SMA itu udah berasa dewasa. Eh tahunya malah nikah umur 28. Dan memang benar: nikah di bawah 25 tahun itu masih mudaaa.... banget. Kek, saya sekarang tuh horor mikirin gimana jadinya kalo saya nikah umur 23?? mana kuat.

    Salut sama mbak Jane yang menikah dan punya anak di usia muda, karena yuyur sampe sekarang saya juga masih takut mikirin gimana kalau saya punya anak dengan ego yang masih ngaco inii (makanya belum dikasih anak kali yaaa hihi).

    Apalagi kalau di kalangan perkotaan pasti kerasa banget ya. Soalnya temen-temen saya sampai sekarang pun banyak yang belum menikah. Pas aawal-awal ada teman yang sudah menikah, yang ada kami canggung karena topik obrolannya beda. Padahal bukannya mau bikin canggung, masih pengen akrab juga, tapi daerah permainannya udah beda dan jadinya malah nggak nyambung. Sedih kalau ingat pertemanan yang jadi kurang intens karena sudah beda situasi gitu. Ya, semacam kayak yang mbak Jane ceritakan di post2 sebelumnya, tapi ini dari sisi yang lain :')

    Saya penasaran pengen baca cerita "tiket" btw. Karena identitas diri ini kan emang krusial yak. Boro-boro udah punya anak, saya aja yang baru ber-label istri suka bingung sendiri mempertanyakan eksistensi hahahaha.... *masih belom kuat*

    Waktu lurking ke sini, ku baca kabar Mbak Jane menunggu kehadiran yang kedua. Pas komen lagi di sini, dedek di perut Mbak Jane udah nambah gede ya :" hiks hiks senang bisa bertamu lagi, sehat-sehat selalu ya sekeluarga!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mba Megaaa. Senang sekali bisa menyambut kembali Mba Mega di sini :D

      Hahahaha makanya nggak ada usia yang benar-benar ideal untuk menikah yaa, karena balik lagi kepada kesiapan masing-masing individu. Ada yang memang siap di usia muda, ada yang baru siap di usia matang dan semuanya gapapa banget. Daripada salah melangkah seperti yang Mba Mega alami pribadi (:

      Soal pertemanan dan bahan obrolan itu yang paling terasa sih, Mbaa. Kadang pengen ditanya-tanya soal diri sendiri ketimbang soal anak. Padahal sebelum punya anak aku ya masih aku 😂

      Cerpen "Tiket" memang paling lekat di hati, karena soooo relatable hahaha

      Aminnn, Mba Mega! ❤️ Semoga Mba dan suami juga sehat-sehat selalu yaa, peluk jauh!

      Delete
  9. Memang dasarnya penulis thriller, mau disuruh nulis cerita keluarga juga pasti premisnya serem. Jadi penasaran baca cerpen Ruwi Meita. Saya liat ada di iPusnas, kayaknya bisa jadi bacaan tahun ini 😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha iya bener banget. Kayaknya genre tersebut memang sudah melekat di diri penulis 🙈

      Barusan saya cek iPusnas, ternyata ada tiga karyanya Mba Ruwi Meita ya di sana. Coba dibaca-baca, Mas Rahul. Kalau cocok saya tinggal tunggu review-nya di blog 😁

      Delete
  10. Cocok kayanya buat bacaan kakak saya mba..... heheh

    Saya sih belum nikah mba.. Tapi sepertinya saya bisa mengerti strugglenya Emak2..
    Diteriakinn "Mamaaaaa" pas baru menghela nafas.. hehe
    Mba saya juga kadang kewalahan, karena si anak pertama udh mulai aktif jadi peniru ulung.. Yah saya sebagai adik yang baik.. wkwk.. Cuma bisa bantuin nemenin si keponakan tersayang kalau pas lagi libur kerja... Yah balita aktif banget kalau udh main.. smpe disuruh tidur susah.. Omnya smpe sakit pinggang ditimpa2.. wkwk tapi seru sih...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca pengalaman Mas Bayu sendiri yang menemani ponakan jadi teringat saya sendiri kalau tiap pulang ke rumah ortu, Josh pasti saya biarkan 'diasuh' oleh dua pamannya. Yang penting ada yang ngajakin main sampe capek hihi dan soal susah tidur itu bener banget. Sampai adikku udah capek aja Josh baterainya masih 50% 😂

      Btw, salam dari saya untuk kakaknya Mas Bayu ya! :D

      Delete
  11. Uwaaaahhhh Ada Ken terate dan Mia Arshad :D. Mereka penulis favoritku. Biasanya aku ga terlalu suka buku kompilasi cerpen Ken, Krn LBH suka buku yg panjang ceritanya dengan banyak konflik. Tp kalo isinya bbrp pengarang favorit, msh mau sih baca :D.

    Ini sepertinya menarik, apalagi ada cerita mistis peti mati hahahah. Aku mau cari aaah ;).

    Eh buatku yaa, me time wajib ada. Suka sebel Ama orang2 yg bilang ibu me time itu ibu egois -_-. Aku malah ngerasa yg bilang mah iri aja Krn ga bisa ngerasain . Siapapun berhak kok utk bisa metime. Masalahnya memang, ada yg bisa, ada yg tidak memungkinkan. Tp bukan berarti yg bisa melakukan disebut egois -_- .

    Aku bersyukur suami ngerti hobiku yg traveling. Makanya zaman sblm pandemi, dia ngizinin aku traveling berdua temen sampe 2 Minggu, ato nyisihin waktu traveling berdua suami , walopun maksimal suami cm mau 1 Minggu kalo tanpa anak2. Yowisslaah, drpd ga mau samasekali 😁. Setidaknya sehabis melakukan me time, aku LBH fresh sih. Dan LBH semangat juga ngerjain rutinitas

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbaaa, novelnya Mia Arsjad yang recommended judulnya apa? :D beliau nulis genre Metropop ya? Kalau Ken Terate sih kayaknya lebih spesialis teenlit ya? Satu-satunya karya Ken Terate yang aku suka dari zaman SMP tuh "My Friends, My Dreams" 😁

      Nah iya kannn. Akutu ngerasa tiap ibu pasti punya cara masing-masing untuk me time dan pastinya udah ada komunikasi lah dengan pasangan maupun keluarga. Hampir nggak mungkin rasanya ibu me time tapi mengabaikan anak-anaknya, makanya sebelll suka di-judge "itu anaknya ditinggal, bund?" 🙄

      Semangat selaluuu, Mba Fanny! Pokoknya happy mom, happy family yak 😆

      Delete
  12. Well, tulisan kamu kali ini ngingetin aku sama podcast di inspigo yang aku dengerin beberapa tahun lalu. Tentang transformasi perempuan, dari yang single, punya pasangan, dan memiliki anak. Dengan tambahan ceritamu ini jadi nambah insight ku. Makasih ya Jane..

    Dan untuk me time, yes kita sangat perlu.
    Cuman pas bagian generasi terdahulu komplain dengan kebiasan kita yang sekarang, aku maklum Jane. Awalnya sih mencak-mencak juga, kesannya kita lemah banget ketimbang mereka.

    Tapi pas dapet anti tesis dari Mas Ruby, aku dapat insight juga, karena apa yang kita alami sekarang itu seperti paradoks. Dibandingkan jaman orang tua kita, mereka nggak terpapar informasi dan teknologi se-massive sekarang. Hidup mereka bisa lebih fokus untuk mencapai tujuannya.

    Beda dengan kita dan generasi berikutnya, yang lahirnya langsung jadi native teknologi, dari kecil udah kepapar banyak informasi. Emang bener enak, semua jadi dipermudah, cuman karena itu juga, alamiahnya kita sebagai manusia yang lebih unggul daripada makhluk lain, dilemahkan secara mental dan emosinya. Banyak yang usianya masih muda harus pergi ke profesional karena tekanan era now yang ngelebihin jaman orang tua dulu.

    Pastinya mayoritas generasi pendahulu nggak akan relate dengan apa yang dirasiin generasi sekarang, yang kudu survive nggak cuman secara offline, tapi juga online. Karena kebutuhan kita dengan mereka udah beda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju sekali dengan pendapatmu, Pit (: beda era, beda struggle, beda cara menyikapinya juga ya. Aku sempat lho nanya mamaku dulu ngurus kita-kita kecil tuh kenal yang namanya me-time nggak sih. Kalau menurut Mama, dulu ya tahunya ngurus anak aja, mana kepikiran untuk curi-curi waktu me time. Mungkin ada kali yaa, cuma penyebutannya aja berbeda.

      Dan soal generasi sekarang yang harus survive nggak cuma offline tpai juga online, kok aku tertohok sih (': sepertinya aku harus menyiapkan mental anak-anakku juga deh untuk menghadapi tantangan di dunia online 😂

      Thank you so much, Pitt for sharing your thoughts!

      Delete
  13. Waaahhh ini menarikkk banget!
    Sooooo related!

    Memang ya, kalau baca cerita yang related sama diri kita itu berasa mood jadi membaik, berasa ada temennya, berasa jadi ga sendirian lagi, berasa ada yang memahami kita hahahaha.

    meskipun jujurnya, saya sama banget ama Mba Fanny, saya lebih suka cerita yang panjang.

    Jadi ingat deh, saya punya beberapa buku Asma Nadia, dan saya kurang puas akan itu, cuman kata-katanya aja memang yang bagus, tapi ceritanya semua pendek-pendek, menceritakan ksiah nyata, tapi kurang puas aja gitu bacanya, lebih suka yang banyak konfliknya, yang bercerita dari awal secara detail hihihi.

    Ada rekoemndasi nggak yang ceritanya satu tema dengan ini tapi novel yang panjang? :D

    ReplyDelete
  14. Mba Reyyy, gara-gara pertanyaanmu aku jadi keingat novel "Rumah Cokelat" nya Sitta Karina, Mba Rey pernah bacakah? Sepertinya aku masih ada deh bukunya di rumah. Kalau Mba Rey tertarik, mau aku kirimkan? :D

    Rumah Cokelat itu ceritanya mirip-mirip kumcer Me Time ini. Jadi si ibu working mom yang resign untuk jagain anak balitanya di rumah. Seruuuu sih, aku jadi tahu pergumulan working mom yang harus berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga itu susahnya kayak apa huhuhu

    ReplyDelete
  15. kayaknya ringan banget ya ini buku buat dibaca saat santai. Dari judulnya aja menarik, "me time" cerita mamah muda
    dan memang bener juga kalau udah jadi mamah mamah muda mereka juga butuh waktu untuk sendiri dan bersenang-senang nyenengin diri sendiri, dikata itu selama ini cuman diem dirumah aja ngurus anak, pasti ada rasa capek dikit, pengen menghirup udara di luar rumah meskipun sebentar.

    ReplyDelete