Baru Pulang (A Short Story)

Tuesday, September 15, 2020


Kalau ditanya, momen apa yang sulit dilupakan sepanjang hidup kamu? Jawabannya, BANYAK. 

Namun, kalau dipersempit pertanyaannya menjadi, momen apa yang sulit dilupakan selama 10 tahun terakhir, jawabannya ada di tahun 2013, tepatnya di bulan Juli. 

Tahun 2013, ketika lulus kuliah dari Guangzhou, orangtuaku memutuskan untuk melanjutkan hidup di Pulau Dewata, di mana sebelumnya adikku sudah tinggal lebih dulu di sana untuk menempuh pendidikan sarjananya. Bukan suatu keputusan yang sederhana tentunya, bahkan aku tau persis gimana rasanya kedua orangtuaku merasa kalut harus meninggalkan kehidupan mereka di Jakarta dan memulai lembaran baru, di tempat yang baru. 

Sebetulnya waktu itu aku punya dua pilihan: Pertama, tetap tinggal dan bekerja di Jakarta, namun harus nge-kost, karena rumah sudah nggak ada. Kedua, ikut for good ke Bali dan memulai segalanya yang baru di sana. Pilihan pertama hampir nggak aku pertimbangkan, karena nggak kuat kalau harus tinggal jauh lagi dengan keluarga. Empat tahun udah cukup, masa mau jauh-jauhan lagi? ): *iya gengs, aku anak papa mama banget*. 

Sebagai anak muda *cailah* berusia 21 tahun waktu itu, ini keputusan yang sulit. Sebelumnya aku sudah dihadapi kegalauan tentang "mau jadi apa setelah lulus nanti", lah ini sekarang harus memilih mau tinggal di mana. Orang-orang di luar sana pastilah menjawab, "Yah ke Bali lah! Kapan lagi lo bisa ke pantai kapan pun lo mau?". Terkadang memang orang hanya mengingat "enaknya" saja, lupa kalau ingin bersenang-senang butuh duit, di mana sumbernya, ya, harus cari pekerjaan. 

Selama ini aku hanya tau Bali itu destinasi liburan dan honeymoon. Tinggal di Bali?? Tentu nggak pernah kubayangkan. Mau kerja apa di sana? Masyarakatnya seperti apa? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang belum sempat aku pikiran matang-matang, eh tau-tau udah harus naik pesawat menuju Bandara Ngurah Rai. 

Berangkat dari kegalauan ini lah, aku menulis sebuah jurnal pribadi dengan format cerita pendek berdasarkan apa yang aku rasakan saat harus meninggalkan kota Guangzhou yang menjadi rumah singgah selama empat tahun, dan kemudian harus menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di rumah yang baru, Bali. 

Abaikan gaya menulisku yang mungkin sedikit kacau. Jarang nulis cerpen soalnya. Namun, tulisan ini selalu mengingatkan aku rasanya saat kembali ke rumah ❤


BARU PULANG
Jane Reggievia

Aku menghapus air mataku dengan susah payah sambil menyodorkan paspor dan boarding pass kepada dua petugas yang berdiri di depan pintu masuk imigrasi. 

“Jane!”

“Jangan menengok lagi, nanti makin sedih lho,” sebuah suara terdengar lebih cepat sebelum aku membalikkan badan untuk menjawab panggilan tersebut. Petugas itu tersenyum penuh arti sembari memeriksa boarding pass milikku. Kok dia tahu ini adalah sebuah perpisahan? 

Aku pun tertawa. Temannya yang berdiri di sampingnya pun ikut tersenyum. Namun, aku tetap membalikkan badanku, dan melambaikan tanganku terakhir kalinya pada teman-temanku yang masih harus tinggal di Guangzhou. 

Safe trip,” ujar petugas itu kembali, yang kusambut dengan senyuman. 

Empat tahun aku menghabiskan masa kuliah di negeri tirai bambu. Aku masih ingat ketika hari pertama aku berangkat, rasa berat hati yang mengantarku sampai ke negeri ini. Ironisnya, dengan sikap hati yang sama aku harus meninggalkan tempat ini. Bukan kah harusnya aku senang? 

Sambil menunggu antrian di imigrasi, tanganku sibuk menghapus sisa air mata yang membekas di pipi. Aku nggak mau dikira anak kecil cengeng yang berpergian sendiri tanpa pengasuh. Perlahan kurasakan mataku mulai sembab. 

Tiba-tiba lampu notification Blackberry-ku berkedip. Ada beberapa pesan masuk dari orang yang berbeda-beda. Ada dari papa dan mama (ya, mereka mengirimkan pesan yang berbeda) yang berpesan supaya hati-hati, jangan sampai ketinggalan paspor dan sebagainya. Mereka mengatakan itu karena bisa saja itu terjadi karena kecerobohanku. Mereka juga mengatakan tidak sabar untuk berjumpa denganku kembali. Ada dari pacarku, dia juga berpesan yang sama, dia juga tidak sabar untuk berjumpa denganku. Namun nyatanya kami harus menunggu beberapa waktu kembali untuk bertemu, karena sesampai di Indonesia, kami masih harus menjalani long distance relationship. Ada pula dari salah satu teman baikku, dia berpesan seperti, “Jangan galau di pesawat!”—dan langsung membuatku tertawa sambil membatin dalam hati, "Tau aja, sih, lo!". Aku mendongak ke depan barisan, ternyata sebentar lagi giliranku. Buru-buru kumasukkan kembali Blackberry-ku ke dalam tas. Nanti saja kubalas pesan mereka satu per satu setelah berada di boarding room.

Sambil berjalan menuju ruang tunggu, jantungku mulai berdetak tidak teratur. Ini bukan kepulangan yang pertama, namun rasanya bukan seperti mau pulang. Karena tempat pulang kali ini, hatiku tidak berada di sana. Mungkin belum, mungkin hatiku mau menerimanya, tapi tidak tahu juga. 

Aku menarik nafas dalam-dalam. 

Beberapa lama kemudian, aku sudah duduk manis di dalam pesawat. Aku sengaja memilih duduk di dekat jendela, hanya karena ingin melihat pemandangan Guangzhou untuk terakhir kalinya dari dalam pesawat. Dramatis? Mungkin. Dan air mata pun mulai menitik kembali saat aku berbisik dalam hati, 

“See you again, Guangzhou. Thanks for all the memories.”

***
Total penerbanganku selama tujuh jam hingga sampai Bandara Internasional Changi, Singapura. Aku memang harus transit di sini dulu sebelum tiba di Indonesia. 

Ketika sampai di Changi Airport, kecepatan detak jantungku bukannya melambat, malah semakin cepat. Dan kejadian yang paling kuhindarkan terjadi juga. 

Pasporku hilang.

Aku panik sembari mengaduk-aduk seluruh isi ranselku di depan pintu toilet. Benda kecil berwarna hijau yang bersampul cover berwarna kuning benar-benar tidak ada di dalam sana. 

Tiba-tiba seorang petugas bandara yang terlihat cantik menepuk pundakku. Ia tersenyum sambil menyodorkan benda yang sudah pasti adalah milikku. Sebelum ia beranjak, ia tersenyum kembali namun kali ini agak sedikit sarkastik. Mungkin ia ingin mengatakan betapa ceroboh dan bodohnya aku, bisa-bisanya meninggalkan benda penting di dalam kamar kecil.

Anyway, sudah kubilang, kan, kalau aku ceroboh? 

Tidak mau kecerobohan tersebut terulang, aku bergegas menuju boarding room meski belum tiba waktunya. Nggak lupa menjejalkan pasporku ke dalam tas ransel supaya aman. Tak lama kemudian, petugas membuka pintu boarding room dari dalam, orang-orang termasuk aku pun mengantri dengan tertib di dalam barisan. Ini yang aku suka dari Singapura. Mereka tertib, walaupun orang-orangnya agak kaku. Setidaknya itu yang kulihat dari raut wajah para petugas yang berseliweran di dalam bandara. Ingat petugas cantik dengan senyum sarkastik yang mengembalikan pasporku, kan? 

Kembali aku harus menunggu penerbangan berikutnya. Aku duduk di barisan bangku agak ke belakang sambil menyalakan laptop. Lumayan, ada kabel internet nganggur yang bisa dipakai. Mungkin aku akan mengecek beberapa email, membuka akun Facebook dan blog. Yes! Akhirnya aku tidak perlu membuka akun sosial mediaku dengan VPN. 

Sambil membuka Mozilla, mataku memandang orang-orang yang berada di sekeliling. Aku menemukan beberapa pasangan muda, orangtua dengan anak-anak yang masih kecil, ada yang bersama sahabat dan juga yang sendirian sepertiku. Kebanyakan memang yang berpasangan, mengingat destinasi yang akan dituju adalah destinasi sejuta umat untuk honeymoon di Indonesia. 

Ada satu pasangan muda yang menarik perhatianku. Mereka duduk bersebelahan dan berdempet erat. Sangat erat malah. Si laki-laki menunjukkan sebuah brosur kepada pasangannya, yang disambut dengan ekspresi bahagia sambil menunjuk-nunjuk brosur tersebut. Setelah itu si laki-laki mengecup pipi perempuannya. Tebakanku, mereka adalah newlywed alias pengantin baru. Mesranya agak berlebihan, tapi sweet

Mataku tertuju kembali pada layar laptop. Nggak lama kemudian, nomor pesawat yang kutumpangi disebutkan melalui pengeras suara. Penumpang yang duduk dari nomor 1-10 dipanggil terlebih dahulu. Karena aku duduk di kursi nomor 25, sepertinya aku harus menunggu sesaat lagi. 

Tiba di dalam pesawat, kali ini aku tidak duduk dekat jendela, aku memilih untuk duduk di samping koridor. Kali ini aku ingin cepat turun pesawat ketika tiba nanti. Jantungku yang tadinya sudah berdetak normal, sekarang berpacu kembali dengan irama yang sangat cepat! Semakin cepat dan..

***
.. yah, semakin cepat. 

Bahkan ketika akhirnya aku menghirup udara segar kembali, detak jantungku tidak juga melambat. 

Aku menghirup udara yang sudah berbeda sekarang. Ini Indonesia, tapi bukan rumahku. Hatiku nggak di sini. Aku nggak merasa ini pulang. 

Aku harus mengisi beberapa lembar formulir yang tidak sempat diisi di dalam pesawat, mungkin karena aku tertidur dan pramugari tidak memberikannya padaku. Aneh, harusnya mereka meninggalkannya saja di atas meja lipat pesawat. Setelah itu aku buru-buru menarik koperku yang berat berserta tas jinjing yang lain. 

Aku berjalan menuju pintu keluar. Terlihat beberapa loket money changer, petugasnya sibuk menawarkan kepada kami yang berlalu-lalang untuk menukar mata uang di tempat mereka. Setelah itu, pemandangan di depanku mendadak sangat ramai. Banyak dari yang mereka membawa papan nama, ada yang melambai-lambaikan tangannya tinggi-tinggi memanggil seseorang yang baru saja keluar, lalu mereka berpelukan. Aku mencari-cari namaku di antara papan nama tersebut, tentu saja hasilnya nihil. Mataku mulai mencari-cari sosok yang mungkin menjemputku. Aku mendengar banyak bapak-bapak yang mulai berseru, “Taxi? Taxi?” di sekitarku sampai telingaku agak panas. Dengan ramah dan sopan, aku menggeleng dan menjauh dari mereka. 

Beberapa menit sudah berlalu dan aku mulai merasa nggak tenang. Sosok yang kutunggu belum juga datang menjemput. Aku nggak bisa menghubungi siapapun karena aku belum punya nomor Indonesia. Tiba-tiba aku teringat di zaman ini ada yang namanya Wi-Fi! Aku segera mengaktifkan Wi-Fi—yang ternyata gratis di kawasan dalam bandara, lalu segera mengirimkan pesan lewat BBM dan juga Whatsapp. Setelah itu, aku duduk di dekat lapangan parkir taksi sambil mendekap barang-barangku. 

“Hei!”

Aku mendongak untuk menemukan sumber suara tersebut. Ketika aku menemukannya, senyumku melebar. 

Papa dan adikku. 

“Welcome home!” ujar Papa langsung memelukku, sementara adikku langsung sibuk membantu membawa barang. 

Aku mengernyitkan alisku. Welcome home? 

Aku menengok ke sebuah tulisan yang berada di atas gedung bandara. 

Bandar Udara Internasional Ngurah Rai. 

Seuntai senyuman terbentuk dari wajahku. 

Iyah, aku sudah pulang. Aku pulang ke rumah yang baru. 

“Gimana penerbanganmu? Capek yah?”

***

34 comments:

  1. Ci :( cerpennya bagus sekali :(
    Aku berkaca-kaca terharu di bagian akhir saat cici akhirnya bertemu dengan papa dan adik di Bali :'(
    Ceritanya mengalir sekali dan aku suka dengan kalimat-kalimat yang cici gunakan <3

    Jika cici akan membuat part selanjutnya atau cerpen-cerpen lainnya, aku dengan senang hati akan membacanya <3

    Good job, ci Jane!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Liaa, maacihh untuk pujiannya 🤗 aku pas baca ulang cerpen ini juga tiba-tiba kebawa ke masa itu, masih jelas banget ternyata di ingatan (':

      Makasih banyak untuk support-nya ya, Lii! Mohon ditunggu, siapa tau ada lagi 🤭❤️

      Delete
  2. Wooaaaah baru pertama kali baca cerpen mba Jane, bagus mba! Syukaaaa :D

    Saya bisa relate sama perasaan mba ketika rumah kita berpindah, ada rasa takut, deg-degan dan lain sebagainya ~ itu pula yang pernah saya rasakan. Tapi saya yakin rasa asing itu pelan-pelan akan berubah jadi rasa hangat berjalan dengan waktu tentunya. So, sekarang sudah bisa bilang Bali sebagai rumah dong, ya? :D

    Jadi nggak sabar baca kelanjutan cerpennya, akan bersambung nggak mba? :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi maacih banyak, Mba Eno! Pertama kali juga share cerpen di sini, bersyukur dan senang sekalii ternyata diterima hangat oleh teman-teman ❤️😊

      Iya, Mba Enoo. Sekarang nyebut Bali udah rumah, ke Bali judulnya bukan vacation, emang mau pulang hahaha 😆 awalnya memang 'menakutkan', sekarang jadi ngangenin hihi

      Sayangnya yang ini nggak ada kelanjutannya, Mba. Tapi coba aku ngubek folder lama lagi, siapa tau nemu yang bisa di-share di sini 🤭

      Delete
  3. Emosinya dapet banget, mba... 😍

    Berarti mba Jane merantau di LN sejak usia 17thn ya? Wah... ga kebayang gimana perasaan pas mau berangkatnya... 😅

    Btw, ditunggu lanjutan ceritanya ya mba...😊
    Mau prequel-nya juga boleh banget, lho... 😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Hichaa, makasih banyak yaa! Berarti emosinya sampai dong ya? 🙈

      Iya betull, lulus SMA aku langsung merantau. Wah, nggak perlu diragukan, tiap kali berangkat drama mulu, mewekkk kerjaannya 🤣

      Siapp. Mudah-mudahan nanti bisa share tulisan lainnya di sini. Mohon ditunggu 😉

      Delete
  4. Awwww..... jadi terharu bacanya Jane.
    Sejak dari atas, di mana harus memilih ke Bali atau ngekos di Jakarta.
    Di mana udah lama pisah dari ortu, masa pisah lagi.

    Tapi Jane beruntung, hatinya tidak benar-benar tertambat di negeri tirai bambu sana :D

    Saya juga pernah merasakan kayak di cerpen ini, saat lulus kuliah dan akhirnya harus pulang, saya sempat pulang, sedih banget, dan akhirnya sebulan kemudian balik lagi hahahaha.

    Btw, bener tuh cerpennya asyik, mau dong kelanjutannya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaampunn sampai balik lagi malahan yaa, Mba Rey 😂 berarti mungkin panggilannya di sana kali hihi

      Meski setahun terakhir sebetulnya aku mulai merasa agak nggak rela untuk pulang. Tapi memang sejak awal nggak membayangkan akan tinggal lama di sana, seperti beberapa temanku yang lainnya. Panggilan hatinya memang untuk pulang hihi

      Makasihh sudah menikmati cerpen ini, Mba Rey. Siapp, ditunggu yang berikutnya ya 😊

      Delete
  5. We want more, we want more!! Hehehe.. Seruu bacanya Mba Jane 😍😍 Aku kebayang gimana rasa deg2annya Mba. Aku juga suka deg2an kalau hrs berangkat ke tempat baru. Padahal dibilang takut atau khawatir bgd juga ga, tp bawaannya deg2an aja. Itu cuma buat pergi bentar, apalagi Mba Jane akan ketempat baru buat 'pulang'
    Tapi selama ada keluarga yg menemani, pasti dimanapun akan terasa seperti rumah 💖💖

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uwuuu maacih udah baca Mba Thessa 🙈💕

      Deg-degan excited tapi juga ada sedikit kuatirnya gitu yaa, Mba. Waktu itu perasaannya lebih ke excited sih, karena aku tau kepulangan ini tetap bisa ngumpul bareng keluarga. Jadi betul yang Mba Thessa bilang, di mana ada keluarga, di situ akan terasa rumah ☺️❤️

      Delete
  6. kalau cerpennya dibuat sekarang kudu tes rapid atau pcr sebelum naik pesawat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahahaaha lebih ribet deh itu ceritanya 😂 mudah-mudahan pandemi ini cepat selesai deh, biar traveling-nya aman dan nggak perlu takut ini itu lagi 😊

      Btw, terima kasih Mas Rezky sudah baca ya (:

      Delete
  7. personal story ala cerpen yang mengalir mba
    aku membayangkan posisiku di posisi mba jane saat itu yang harus ninggalin negara asing buat kuliah dan balik ke rumah, dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan.
    berat rasanya ninggalin negara rantau yang udah punya cerita sendiri di hati
    dan balik indo dengan suasana rumah yang baru, kenangan yang nggak bakal bisa dilupain

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mba Ainun sudah baca cerpen personal ini 😊

      Iyaa, mixed feeling sekali memang saat itu. Salah satu sisi kangen tempat rantai yang udah memberikan banyak pelajaran dan kenangan, ingin pulang tapi harus ke tempat yang baru. Tapi bersyukur sekali tempat 'pulang' aku tetap ada keluarga menanti di sana ☺️

      Delete
  8. Eh ini aku rasain kok pas kuliah di Penang pertama kali dan pas balik lagi ke Medan :D. Pas pergi aku nangis2, Krn sbnrnya aku dipaksa utk kuliah di sana. Tdnya aku udh sempet kuliah di salah satu univ negeri di indo soalnya. Jd bisa dibilang aku DO di sana dan pindah ke Penang :D.

    Sempet kesel Ama papa, dan jujurnya 4 THN kuliah, aku ga mau balik ke Medan padahal jarak Medan Penang itu selemparan kancut bangettt hahahaha. Mungkin Krn msh kesel, jdnya aku ga prnh mau balik selama 4 THN.

    Eh, lama2 malah jd cinta dan anggab Penang rumah sendiri. Pas tiba waktunya pulang, aku malah sedih, dan ga kepengin lama2 di Medan. 3 bulan, doang, trus aku terbang lagi ke Jakarta :D.

    Aku bisa ngerasain banget yg ditulis di cerpen itu :).

    Bagus cerpennya mba Jane. Mungkin Krn diangkat dr kisah sendiri juga, jdnya LBH dapet feel-nya yaaa :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah kok cerita kita mirip-mirip yaa. Aku juga berangkat dengan rasa terpaksa, tiap ke bandara mau balik ke Guangzhou itu pake acara nangis-nangis dulu wkwkwk

      Tapi lucunya, meski awalnya sebal, lama-lama tumbuh rasa cinta juga ya hihi meski nggak sampai kepengen tinggal di sana, aku akui tempat rantau itu selalu punya kenangan sendiri ☺️

      Thank you so much, Mba Fanny, udah membagikan kisahnya juga di sini 🤗

      Delete
  9. Bagus Jane.. enak bacanya dan saya bisa membayangkang rasa di hatinya.

    Gali terus kisah masa lalu Jane.. pasti banyak yang menarik disana. Pingin tahu kelanjutan setelah itunya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih banyak Mastah Anton 🙏 berkat Mas Anton juga nih saya jadi rajin ngulik kisah masa lalu. Mudah-mudahan nanti ada yang bisa diceritakan kembali di sini :D

      Delete
    2. Hussshh.. mastah mastah.. sambel matah kali...

      Pasti banyak Jane yang bisa dibagi kepada kita neh. Kebetulan lagi WFH, jadi butuh bacaan banyak neh... wakakaka

      Delete
    3. Wkwkwkwk sambal matah enak dong ah 🙈

      Oh iya minggu ini udah WFH lagi. Ok baiklah, coba aku naik mesin waktu dulu ke masa lalu, apakah ada aib.. eh maksudnya cerita yang bisa dibagikan di sini 😆

      Delete
  10. Perpisahan memang mengharu biru ya..:)
    Kelihatan banget penghayatan penulis di cerita ini, emosinya dapet banget mbak..
    Ayo cerita lagi mbak tentang kisah yang berdasarkan pengalaman pribadi...:D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih banyak, Mba Phebie! ❤️ Kebetulan ini aku nulisnya persis begitu pulang merantau, jadi kenapa feel-nya dapet ya 🙈

      Hihi siaap, Mba. Mohon ditunggu, ya! ☺️

      Delete
  11. Ciciiii 😭😭😭 cerpennya baguuuss. Scroll terus ke bawah eh tau tau uda selesai. Ikut merasakan hari itu gimana perasaan cici, padahal cuma baca tulisan cici..

    Next mauu baca lagi cerpen cici yaa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maacih banyaaak Devina udah baca cerpenku ini 🤗❤️ aku pun jadi ikut terbawa lagi ke masa itu, ada rasa kangen yang masih menyisa ternyata hihi

      Nanti coba aku lihat-lihat lagi apa yang bisa dibagikan di sini yaa (:

      Delete
  12. Janee bagus deh nulis cerpen, apalagi karena berdasar pengalaman sendiri jadinya dapet banget feels-nya >.< Kerasa gitu galaunya pas bingung milih ikut ke Bali atau ngekos di Jakarta.

    Pulang yang bukan bener-bener pulang karena ke rumah baru yang belum kita kenal daerahnya yaa, ada perasaan yang asing tapi juga excited gimana rasanya bakal tinggal di rumah baru :)

    Ditunggu kalo mau nulis cerpen lagi Jane.. Baguuuss

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank youu so much, Eyaa! ❤️

      Nah iyaa betul. Perasaan excitement-nya itu yang lebih mendominasi, meski was-was juga karena harus beradaptasi kembali di lingkungan yang baru, orang-orang baru, rumah baru, semua-muanya. Bersyukurnya aku nggak sendiri, ada keluarga yang ikut menemani proses yang sama ☺️

      Delete
  13. Wah kak Jane sudah bisa buat cerpen. Selamat ya kak. Cerpennya bagus kok, alur ceritanya mengalir lancar dan enak dibacanya.

    Jadi sekarang kak Jane ada di Bali sama orang tua ya. Memang kalo pisah sama ortu itu rasanya berat, apalagi sebelumnya juga sudah pisah selama empat tahun karena harus kuliah.

    Ditunggu cerpen cerpen lainnya.😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah senanggg sekali tulisanku dibaca dan dipuji master penulis cerpen Mas Agus 😆 makasih banyak, Mas! Saya memang suka nulis jurnal dengan format seperti ini, tapi nggak pernah di-publish di mana pun. Baru kali ini memberanikan diri untuk ditayangkan di sini, senang kalau teman-teman bisa menikmati 🙈

      Sekarang saya udah di Bogor sama suami, merantau lagi sejak nikah hahaha pulang ke Bali kalau sedang liburan aja untuk ketemu orangtua 😊

      Siap, Mas Agus. Ditunggu ya!

      Delete
    2. Jangan panggil master ah, aku cuma hobi nulis cerpen saja, kalo dibilang master ya jelas masih jauuuh.😂

      Oh ternyata sejak dulu suka nulis jurnal seperti ini ya, pantesan alurnya bagus begitu.🙂

      Delete
    3. Dia master kok Jane.. masternya bang Pepet dan Mbak Kun.. jangan percaya

      Delete
    4. Nah, bang Pepet nya datang tuh mbak Jane, itu yang diatas saya.😂

      Delete
    5. Nyahahaha duet maut master ini bisaan aja deh 😜

      Delete
  14. Huwaaaaa, terharu waktu baca cerpennyaaa :')))) mengalir banget ceritanyaa. Ditunggu untuk cerita selanjutnya, Ci ❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maacihhh Andhira sudah baca yaa ❤️ pertama kali juga share cerpen pribadi di sini, agak deg-degan tapi respon manteman bikin aku terharu dan semangat untuk nulis lagi nantinyaa hihi ditunggu yaa! ☺️

      Delete