How to Deal With OCD (Obsessive Comparing Disorder)

Thursday, July 2, 2020


Bukan, bukan. Aku nggak membahas tentang diet OCD yang sempat booming beberapa tahun yang lalu. Hari ini, aku ingin coba bahas tentang OCD yang lain, yang mungkin kebanyakan dari kita pernah atau bahkan masih mengalaminya. 

Apa yang dimaksud dengan obsessive comparing disorder


Istilah obsessive comparing disorder ini dicetuskan oleh seorang penulis bernama Paul Angone. Mengutip dari situs Christian Counseling Centers, OCD ini berarti: "Constantly comparing ourselves with others, producing thoughts and feelings that drive us to depression, consumption, anxiety, and all-around joyous discontent."

Simpelnya, OCD ini adalah sebuah kecenderungan yang menyebabkan kita terus menerus membandingkan keadaan diri sendiri dengan kehidupan orang lain yang nggak kita miliki. 

Sounds familiar already? 

Menurut beberapa artikel yang kubaca termasuk pendapat dari Paul Angone sendiri, OCD memang lebih banyak 'menyerang' generasi milenial (it's you and me, folks!), karena kita hidup di jaman sosial media, di mana aktifitas ngepoin hidup orang tuh cukup dengan scrolling terossss di layar gadget sampai waktu yang tidak terbatas. 

Setiap manusia pasti punya kecenderungan OCD ini. Pada dasarnya manusia itu memang nggak pernah puas, ingin selalu menjadi yang terbaik. Orangtua aja selalu memakai cara "perbandingan" supaya kita belajar lebih rajin di sekolah. 

Masalahnya, perihal banding-membandingkan ini bukan suatu yang baik. 

Aku sering cerita ya sebelumnya, di awal melahirkan sampai anakku sekolah, aku sempat mengalami sindrom OCD (tentunya waktu itu belum tau istilah psikologis ini) yang cukup memprihatinkan. 

Karena nggak ada kerjaan di rumahselain bolak balik nyusuin dan ganti popok anak, aktifitas lain yang sering aku lakukan apalagi kalau bukan buka Instagram. Tiap hari scrolling dari atas ke bawah, cek satu per satu story teman-teman maupun beberapa influencer yang aku ikuti. Kemudian tanpa sadar mulai membatin: "Wah, hidup orang-orang kok keren-keren amat. Ada yang baru rintis bisnis udah cuan banyak. Ada teman lama yang tau-tau sukses jadi selebgram, diundang ke event sana-sini. Ada yang rutin traveling sebulan sekali. Lho dia juga baru punya anak kok udah produktif lagi sih?" Mulai deh, insecure. Kenapa kok hidup gue begini-begini aja. Harusnya gue bisa begini, harusnya gue bisa begitu. Kalau boleh dikasih kesempatan balik ke empat tahun yang lalu, pengen ngomong ke diri sendiri kayak gini, "Oiiii, lo mau jadi ibu rumah tangga tuh pilihan sendiri. Lagian anak lo emang masih bayi, masih butuh emaknya. Lo mau traveling juga ribet, kan?" 😂


Makanya, aku sempat males diajak ketemuan untuk ngumpul bareng teman-teman lama. Hanya karena aku sebel kalau ditanya, "Lagi sibuk apa, Jane?". Aku nggak punya jawaban bagus untuk pertanyaan itu. Alhasil, jawaban template-ku adalah: "Ya... gini-gini aja hidup gue." Terus, pulang ke rumah nangis di pojokan karena it's true, hidup gue gini-gini aja. Nggak ada pencapaian hidup se-wah teman-teman yang aku lihat di Instagram. Di saat mereka posting OOTD kece untuk kerja, aku pakai kaos dan celana pendek nggak lupa cepolan di rumah. Di saat mereka posting ngopi di kafe hits, aku sibuk marah-marah kenapa anakku lepeh-lepeh terus MPASI buatan emaknya. 

Sejak tahun lalu aku baru sadar, gilaaa capek banget hidup dengan mental seperti itu. Mau sampai kapan membandingkan keadaan diri sendiri? Mau sampai kapan sibuk ngurusin hidup orang lain? Mau sampai kapan mengasihani nasib sendiri tanpa ada usaha untuk mengubahnya? 

Nggak bisa lagi seperti ini. Aku harus berubah! *power ranger mode on* 

Berarti obsessive comparing disorder bisa sembuh? 


Tentu aja bisa! 

Setelah setahun lebih mulai membenahi diri, aku mulai menemukan cara-cara yang cukup ampuh untuk sembuh dan bahkan nggak perlu lagi mengalami si OCD yang menyebalkan ini. 

1. Choose who you follow on social media. 


Aku memang belum mau detoks media sosial (dalam hal ini Instagram, ya) seutuhnya karena masih merasa 'butuh' untuk hiburan dan keperluan bisnis. Akun jualan risoles mama di Bali kebetulan masih aku yang urus, jadi untuk uninstall Instagram sepertinya memang belum bisa. 

Satu-satunya yang bisa aku lakukan, adalah dengan memfilter daftar following

Dengan melalukan ini, isi feed kita benar-benar 'bersih' dan sesuai dengan apa yang ingin dilihat. Beberapa waktu lalu, ketika ingin membenahi daftar following-ku, aku baru sadar ternyata Instagram punya fitur baru, di mana kita bisa melihat akun apa aja yang sering tampil di feed (most shown in feed) dan yang paling jarang kita tinggalkan komen atau like postingannya (least interacted with). Btw, ini bisa dilihat langsung saat mengklik "following", ya. 

Fitur ini cukup membantu proses filter, sih. Kalau ada akun-akun yang dirasa udah nggak terlalu relevan dengan kebutuhan atau nggak lagi memberikan manfaat, tinggal unfollow aja. 

Yang agak susah itu kalau akun-akun toxic ternyata datangnya dari teman sendiri (yang nggak deket-deket banget). Mau unfollow takut nggak enak, entar baper. Solusinya, di-mute aja 😆

Terkadang pemicu utama OCD itu karena kita melihat terlalu banyak. Sesuatu yang berlebihan itu nggak bagus, termasuk saat bermain media sosial. 

Sekarang ini aku cukup puas dengan apa yang muncul di feed akun Instagramku. Media sosial itu nggak selamanya jelek kok. Semuanya balik lagi gimana caranya kita mengelolanya. Karena jujur aja deh, yang toxic itu bukan platformnya, tapi oknum-oknum pemakainya termasuk jempol netijen yang kecepatan ngetiknya semacam geledek yang suka ngagetin di siang bolong 😞

2. Learn to love yourself more by doing something that brings you more values.  


Salah satu cara terbaik sebagai tanda "mencintai diri sendiri" itu adalah dengan melakukan hal-hal yang memberikan nilai lebih bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Sederhananya, menjadikan hidup lebih bermanfaat. 

Satu-satunya kegiatan yang mampu memberikan manfaat nggak hanya bagi diriku sendiri, tapi juga untuk orang lain, adalah dengan menulis. Ketebak banget, ya? Hihi. 

I love writing more than anything else. 

Saat menulis aku bisa jadi diri sendiri seutuhnya. Saat menulis aku bisa belajar lagi tentang diri sendiri. Saat menulis aku bisa mendapatkan energi yang memampukan aku untuk berbuat lebih banyak hal lagi untuk orang lain. Ya, nggak usah jauh-jauh deh. Bisa memberkati suami dan anak sendiri aja udah bahagia. Tapi jujur, aku tuh selalu berbunga-bunga saat membaca komentar dari teman-teman semua di blog ini. Secara nggak langsung, kalian juga memberikan energi untuk aku bisa menulis lebih banyak lagi di sini. From the bottom of my heart, thank you thank you and thank you

Temukan sesuatu yang kalian suka, ya. Jangan lupa. 

3. Focus on what you have and what you can do. 


Aku senang banget deh dengan apa yang dikatakan Paul Angone masih dalam artikelnya di Relevant Magazine

"Own and hone your signature sauce, that unique flavor you bring to the world that no one else can." 

Analogi "signature sauce" ini menarik banget. Siapa yang di sini kalau sedang mengunjungi sebuah restoran baru, ketika nggak tau harus pesan apa, kita pasti tanya waiter-nya: "Menu rekomendasi di sini apa ya?" atau "What's your signature menu?" 

"Signature sauce" dalam kehidupan itu merujuk pada talenta, bakat, kekuatan yang ada dalam diri kita, yang bisa 'ditawarkan' ke orang lain. Jadi menurut Paul, daripada terus-terusan mengeluh tentang hal yang nggak kita miliki atau membandingkan level kesuksesan kita dengan orang lain, kenapa nggak fokus aja dengan apa yang sudah ada di dalam diri kita sendiri? 

Aku tuh percaya banget kita lahir nggak dengan tangan kosong. Tuhan sudah kasih "bekal" yang berbeda-beda dan unik buat setiap kita, which becomes our signature sauce. Tugas kita, ya, mengusahakannya. Istilah yang dipakai Paul "hone" artinya itu adalah mempertajam atau menyempurnakan sesuatu (skill) yang sudah ada di dalam diri kita masing-masing. 

Ketika kita mulai fokus mengasah kemampuan yang kita miliki, tanpa sadar kita nggak lagi terobsesi membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Daripada iri, kita malah turut bahagia dengan kesuksesan teman-teman kita. 

Paul menutup artikel di atas dengan kalimat ini: "If you just obsessively compare your success to everyone's else, your signature sauce will become that black stuff on the bottom of the pan because you never actually used any of it." Siapa yang mau talentanya "gosong" dan nggak jadi apa-apa di kemudian hari? 😭

***
Proses untuk healing dari obsessive comparing disorder ini memang nggak mudah, mungkin butuh perjalanan yang panjang. Asalkan ada niat untuk berubah, pasti ada jalannya. 

Semoga tulisan hari ini bermanfaat untuk teman-teman semua, ya. Silakan yang mau curhat atau berbagai pengalamannya, kolom komentar di bawah selalu terbuka untuk kalian. Terima kasih sudah membaca  (: 

27 comments:

  1. Mba Janeee, finally bisa komen lagi di sini 😍 hahaha.

    By the way, saya juga OCD mba tapi lebih ke urusan line sih semacam harus sama rata, nggak boleh kosong, atau susunan tata letak, endeblabla. Pokoknya menyangkut line (karena saya pernah check hal ini jaman dulu kala) 😂 so, saya berusaha keras untuk mengubah itu meski nggak bisa dengan mudah, terbukti urusan nama blog saja harus banget sama rata. Ribet kalau kata orang 🙈

    Dan saya setuju sama poin yang mba Jane bagikan, especially mengenai sosial media, even blog juga ~ intinya bukan salah platformnya tapi semua tergantung oknumnya alias kita-kita juga. That's why saya pun di blog berusaha memfilter apa-apa saja yang ingin saya baca karena kita kan baca tulisan harus spend a few minutes waktu dihidup kita so sebisa mungkin harus digunakan untuk membaca yang memang memberikan manfaat atau minimal rasa senang 🤭 and one of those blogs is mba Jane's blog yang selalu saya nantikan tulisannya. Though kemarin saya sempat vakum pun, tetap kalau ada tulisan baru dari mba Jane pasti saya baca 😍

    Jadiiii, mba harus tau kalau tulisan mba itu memberi banyak kebahagiaan untuk yang baca termasuk saya. Dan bisa jadi, banyak di luar sana yang juga merasa ingin seperti mba. Hehehe. No need to feel insecure anymore *bicara untuk diri saya sendiri juga* hahahahaahaha 😂

    Oh dan satu lagi, saya tertarik sama jawaban mba yang, "Hidup gue begini begini saja." Karena di Korea, mostly kalau kita tanya orang, "How's life?" Jawaban paling moderate itu, "So so." Atau, "Yeah I'm doing well." 😁 jarang ada yang jelaskan panjang lebar karena buat mereka, jawaban kita bisa jadi sedikit banyak mempengaruhi si penanya yang mungkin bisa jadi saat bertanya pun sebenarnya sedang ada masalah dan lain sebagainya. Hehehe. Nunchi bangetlah pokoknya, jadi jangan berpikir kalau mba doing nothing yah. Meski mba jawab begini begini saja, semoga maksudnya adalah hidup mba baik-baik saja 😍

    Saya pun kalau ditanya orang selalu jawab, "I'm doing well." Hahahaha. Seenggaknya doing well berdasarkan standar saya 🤭 hidup cukup, keluarga bahagia serta sehat. Karir berjalan lancar. That's all ❤ yuk semangat untuk kita. 암튼, terima kasih untuk tulisannya mba. Membuat saya jauh lebih semangat dalam menjejak langkah kehidupan ke depannya 🤩

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hello againnn Mba Eno! Senang rasanya kita bisa 'ngobrol' lagi di sini 😝

      Kalo OCD yang itu aku juga beberapa dan hampir sama kayak Mba. Barang harus sama rata, miring dikit pasti aku lurusin. Terus entah kenapa kalo kunci pintu kamar harus dicetek berulang kali sampai yakin, padahal udah kekunci 😂

      Soal insecure, sebenarnya karena aku yang memberikan pressure pada diri sendiri sih. Mungkin aja orang nggak peduli sama hidup aku, tapi rasanya kok aku harus kasih pembuktian ke mereka kalo aku bisa juga melakukan sesuatu. Cuma sekarang ini aku udah nggak lagi mengerjakan sesuatu demi pembuktian/pengakuan, lelah yaa rasanya 😅 sekarang melakukan sesuatu seperti nulis blog ini ya didasari karena cinta aja. Dan kalau apa yang aku lakukan bisa membawa kebahagiaan (kecil) atau manfaat buat orang lain seperti Mba Eno bilang, itu BONUSSS dan bersyukur sekali 😇 Creameno juga banyak memberikan dampak positif buat aku hihi

      So thank youuu Mba Eno udah setia baca blog aku huhu sama-sama semangat yaa kita ❤🤗

      Delete
  2. Aku sering lihat "OCD" ini disebut dibeberapa artikel tapi jujurs, aku kira ini OCD yang dulu hits itu lho. Nggak tahu kalau kepanjangannya ini 😂

    Aku setuju sekaligus kegaplok sama poin-poin yang ada. Aku jadi dikuatin kembali terutama oleh poin nomor 2 dan 3. Menemukan menulis dan ngeblog sebagai suatu hal yang menolong diri sendiri dan orang lain. Aku jadi dapat semangat baru karena sering dikuatkan sama kakak-kakak senior di kolom komentarku, yang bikin aku jadi lebih semangat lagi untuk menulis lebih baik. Bersyukur aku bisa menyelam ke sini 🥰

    Seandainya dulu aku bisa sortir following list aku di sosmed.. tapi gara-gara mikirin perasaan orang lain yang aku unfoll sama aku mute, akhirnya aku memutuskan aku yang mundur 😂

    Anyway, thank you for writing this post ci! Bermanfaat banget sebagai reminder 🥰

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Lia!

      Iya, aku pun baru tau ada kepanjangan lain dari singkatan OCD ini hahaha dan ternyata setelah diulik menarik banget.

      Bisa melakukan sesuatu yang kita suka dan bisa bermanfaat bagi orang lain itu memang kebahagiaannya berkali-kali lipat yaa ❤

      Soal pemakaian sosmed itu memang banyak PRnya hahahaha harus benar-benar mindful kalau gak banyak 'godaan' 😝

      Semangat terus Lia dalam menulisnya! Aku selalu menantikan tulisan-tulisan baru kamu (:

      Delete
  3. Fenomena OCD ini memang fenomena universal semua orang. Ngga heran sih, kadang (dalam arti positif) kita ngeliat orang lebih baik dari kita juga kadang merasa iri. Tapi saya juga sadar bahwa saya adalah individu berbeda. Lahir dan tumbuh di lingkungan berbeda. Jadi, untuk masalah membanding-bandingkan hidup hampir tidak pernah sih. Saya hanya berusaha lebih baik dari diri saya yang kemarin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, benar banget Mas. Andai semua orang termasuk saya bisa punya mindset seperti Mas Rahul, bahwa kita terlahir sebagai individu dengan latar belakang yang berbeda-beda. And yes, fokus saya sekarang ini adalah untuk berusaha menjadi diri yang lebih baik daripada kemarin.

      Terima kasih mas untuk wejangannya!

      Delete
  4. No 1..... udah mute temen-temen yang begitu lah pokoknya, udah left group yang obrolannya tidak faedah juga. Tapi masih susah meninggalkan sosmed terutama IG karena masih mempromosikan tulisan saya biar ada yg baca huhuhu... Thanks sharingnya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tosss! Aku juga masih suka 'mempromosikan' tulisan sendiri di IG pribadi, Mba. Entah baca atau nggak yang penting dipamerin dulu aja 😂

      Delete
  5. Mba Jane, tulisannya bagus banget. Saya bisa merasakan hal yang sama karena saya juga ibu rumah tangga yang suka insecure kalau terlalu lama main medsos. Itulah alasan kenapa saya udah jarang buka Fb dan IG. Sekarang IG lebih banyak untuk nyari hestek buat belanja online, hehe.

    Kadang ya mba, saya sudah mengurangi medsos tapi info teman2 yang karirnya bagus di grup alumni kampus bikin insecure. Mereka banyakan bahas soal kerjaan. Lah, IRT kayak saya nggak punya 'panggung'.

    Status WA juga racun banget. Malah kadang bikin gedeg sendiri karena mereka justru orang2 yang kita kenal baik di dunia nyata. Ampun Mba, mamak2 sekarang pengen eksis banget deh. Heran saya. Makanya saya juga jarang bikin dan kepoin status WA.

    Sekarang saya lebih banyak baca dan nulis aja, hehehe.

    Maaf, Mba Jane, saya malah curhat.🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mba Pipit! Kayaknya aku udah lama nggak 'ngobrol' dengan Mba Pipit. Habis ini mau melipir ke blognya Mba ah (:

      Btw, gapapa dong curhat di sini, justru aku malah senang kalau ada yang cerita-cerita di sini.

      Iya ya, kenapa sih sejak jadi ibu itu aku malah gampang baperan? Gampang juga insecure tentang hal-hal yang nggak bisa aku capai. Cuma sekarang puji Tuhan udah lebih menerima keadaan diri sendiri. Seperti yang kubilang di atas, aku fokus aja melakukan hal yang bisa aku lakukan. Karena kalau lihat orang terus, bandingin terus, lama-lama capek akutu 😅

      Terus semangat yaa, Mba Pipit! Kita ibu-ibu bisa jadi apa aja asalkan terus berusaha 😊💪

      Delete
  6. Aku hampir sama OCDinya sama Mbak Eno, lebih cenderung ke tata letak barang-barang. Bahkan kalau uang nggak tertata urut aja bisa ngamuk sendiri haha. Btw, aku baru tau nih kalau membandingkan diri dengan orang lain termasuk dalam OCD dalam artian lain :'))

    Sepakat dengan poin kedua dan ketiga! Mengerjakan dan fokus terhadap sesuatu yang kita sukai ketimbang fokus membandingkan dengan ladangnya orang lain tuh menenangkan. Menulis adalah salah satu hal yang aku suka dan terus berupaya untuk kulakukan, karena lewat menulis inilah aku dapat berbagi dan mengenal banyak orang dan bertemu dengan hal-hal baik.

    Untuk sekarang aku juga memilih dan memilah following sosial media. Inginnya vakum tapi apadaya, semua pekerjaan ada di sana semua. Jadi memilih mengalah untuk memfilternya saja. Sejauh ini cara yang kulakukan cukup berhasil, sih :D

    Terima kasih atas tulisan yang hangat dan menginspirasi ini, Kak. Sangat menenangkan sekali untuk aku yang terkadang sering ke'trigger' dengan orang lain :')

    Tetap menginspirasi ya Kak! ❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huahaha kalo soal uang di dompet aku juga sama, harus ngurut dari nominal terkecil sampai terbesar, meski kadang isinya dua ribuan sama gocengan aja 😆

      Aku ikut hepi deh kalo banyak teman-teman yang menemukan kesenangan dan ketenangan dalam menulis. Terus menulis yaa! Semoga tulisan kamu juga bisa bermanfaat buat orang lain juga 😊 Terima kasih udah baca postingan ini juga ya ❤

      Delete
  7. Nambahin satu dan mungkin ini intinya.. Mbak Jane kalau ga salah pernah nulis di artikel yang mana #lupamaklumsudahtua, BERSYUKUR dengan apa yang kita punya.

    Rasanya kalau dengan bersyukur tadi kita akan lebih bisa menikmati hidup kita dan ga akan membandingkan diri dengan orang lain.

    Rasanya semua orang punya kecenderungan OCD, persis yang dibilang. Salah satunya sering kita tanamkan ke anak, seperti contoh sering ibu-ibu nggak sengaja bilang ke anaknya "Kamu kok nggak bisa seperti si A sih, udah rajin nggak rewel lagi, dan seterusnya". Nah, yang kayak gini juga pada akhirnya, saya rasa, akan juga mendorong anak mengadopsi OCD sejak awal.

    Hahahahaha... Iya nggak seh..

    Tapi, jempol buat mbak Jane yang sudah berani bilang mengalami hal seperti itu, kadang orang nggak mau mengakuinya.... (Kayak saya.. :-D)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sengaja nggak mau mention tentang bersyukur itu. Bosen dong diingetim terus, harusnya udah pada sadar dan saya yakin semuanya di sini pasti rajin bersyukur 😝

      Nah iya betul. Tanpa sadar saya juga begitu ke anak sendiri, tapi sekarang kapok nggak mau lagi. Biar aja anak tumbuh sendiri dengan keunikan mereka masing-masing.

      Saya malu juga sih untuk mengakui huahaha tapi bisa jadi pembelajaran kenapa nggak di-sharing aja sekalian hihi

      Delete
  8. Emang paling gampang itu ngebandingin ya Mbak. Kadang, saya ngerasa, kalau saya mulai berpikiran "lah tapi kan enak si A, daripada aku yang lebih bla bla bla." Untungnya cuma di dalam hati, karena saya tahu - secara logika - itu nggak adil. Mereka juga pasti punya their own struggle.

    Tapi nggak bisa menyangkal, perasaan ingin membandingkan, mengasihani dan menganggap diri lebih "susah" itu ada. Sebenernya ya itu karena perasaan ingin "lebih", tapi desperate karena merasa nggak cukup. Hehehe. Makanya no. 2 dan 3 jadi fokusku sekarang. Setelah lebih sering fokus ke berkarya, aku rasanya lebih tenang. Soalnya emang jadi ngga ada waktu buat ngurusin yang lain hahaha =))

    then again validasi juga perlu.... karena kadang diri sendiri yang merasa "cukup" juga perlu disemangati. Hehehe. Karena buatku mba Jane nggak "gini-gini aja", tapi Ibu yang bisa merawat anak dan suami sambil terus menulis dengan topik yang bermanfaat.

    Buat aku yang suka slacking, banyak alasan padahal mah males aja, arsip blognya mba jane yang bertaun-taun itu adalah sumber iriii 😂😂 cita-citaku sekarang punya blog yang arsipnya konstan walaupun udah bertahun-tahun. Kayak blog ini :3

    Emang seneng banget ya kalau cinta sama kegiatan menulis. Ketika lagi bener-bener "kerasa" kita suka banget sama menulis... nulis aja cukup rasanya. Bikin hepi. Bikin evaluasi. Bikin berisi 😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya itu betul banget, merasa nggak cukup dan ingin lebih yang menjadi sumber perbandingan itu sendiri. Makanya sekarang instead of comparing, dijadikan motivasi aja kali ya. Bukan untuk menjadi sama seperti mereka, tapi termotivasi untuk bekerja keras seperti mereka supaya menuju kesuksesan dalam impian pribadi ya :D

      Fokus mengerjakan impian sendiri benar-benar membantu untuk nggak terlalu mikirin pencapaian orang lain ya! Setuju sekali tentang yang satu ini.

      Blog Mba Mega juga keren banget! Mba Mega pasti bisa lebih lagi daripada aku. Semangat terus yaa Mba ❤❤❤

      Delete
  9. Kak Jane. Adem bener rasanya baca tulisan kaka :)

    Di saat kaka ngiri dengan teman-teman kakak, aku malah ngiri pengen jadi ibu rumah tangga kaya kakak aja loh kak 😂😂😂

    Tapi berhubung aku belum punya anak, jadi ya masa diem-diem di rumah. Makanya kutetap kerja. Meski sekarang lagi di fase yang suam-suam kuku gitu huhuhuhu Padahal harusnya ga boeh begini ya...

    Kalau soal banding-bandingin hidup, sejujurnya aku ga begitu ngebandingin hidup si. Paling ya mupeng saat liat temen yang pursuit education and career in Japan. Karena emang itu mimpiku yang sudah terkubur...Terus aku ga gitu main instagram si memang. Jarang-jarang aja kepoin story temen-temen soalnya waktunya terkuras dengan blogwalking dan main games serta sekarang ditambah 30 days mission yang lagi kujalanin. Makanya ku ga begitu kepo jadinya juga ga banding-bandingin hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Friska! Makasih udah baca tulisan ini juga ya :D Btw, aku berharap kamu harus lebih baik dari aku sih pastinya hihi

      Oh iya, tentang program belajar bahasa Jepang itu ya. Aku udah baca tapi belum sempat komentar. Yang kamu lakukan itu keren banget sih, jadinya fokus dengan tujuan kamu sendiri ya 😊 Kayaknya memang harus ngurangin banget waktu untuk ngepoin story di Instagram itu hihi

      Delete
  10. ah tulisan keren mbak
    aku pun sama, kadang masih ada insecure kalau sama mereka yang punya pekerjaan tetap apalagi berseragam, sementara aku memang sudah memutuskan berwirausaha

    memang lingkungan berpengaruh, terutama orang sekitar
    kayak mereka enggak ikhlas gitu kalau aku milih jalan berbeda
    enggak mau dan enggak tertarik jadi PNS misalnya
    memang EGP sih tapi seEGP-EGPnya kadang rasa insecure itu muncul belum lagi budaya kita yang sangat mengagungkan pekerjaan tetap terutama PNS

    cuma aku sama sih mbak, cari hal yang bikin aku full banget yaitu nulis
    kejar aja apa yang pingin ditulis
    eh lama-lama banyak orang yang DM tanya tentang tulisan
    dari situ udah mulai enggak bandingin diri lagi

    masalah medsos iy ini kompleks banget
    makanya kemarin aku buat tulisan tentang lamban balas komentar
    bukan apa apa sih ya selain bisa insecure, kok eman waktu aja hehe

    tapi yang paling bikin aku bisa enggak membandingkan adalah punya temen2 blog atau nulis apalagi yang kadang juga pemikiran sama
    itu asyik banget dan enggak bisa diungkapkan dengan kata kata

    makanya, daripada rajin liat timeline di medsos, aku lebih memilih rajib blogwalking, selain menambah pengetahuan juga )

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca cerita Mas Ikrom saya teringat dengan masa lalu saya juga, di mana orang-orang "menyesal" dengan keputusan yang saya ambil. Dulu sih baper, rasanya malah ingin melakukan apa yang mereka ingin saya lakukan aja biar puas. Tapi rasa puas itu tentu bukan buat saya, melainkan untuk pembuktian diri. Rugi dong ya. Lebih baik saya puas dengan yang saya lakukan dan nggak terlalu peduli apa kata orang. Kasarnya, bodo amat deh. Idup ya idup gue kok lo yang repot 😅

      Tentang blogwalking saya SETUJU pake BANGET. Entah kenapa setiap kali blogwalking saya malah termotivasi terus, rasanya seperti diisi bahan bakar untuk lebih berenergi lagi. Luar biasa memang komunitas blogger ini. Terharu aku bisa kenal teman-teman semua (:

      Delete
  11. Aku baru engeh makna harfiahnya ocd bukan sekedar dietnya omded malah abis dikomen pak anton 😂😂 waktu aku ocd-in masalah template blog dimana headerku ga rata kanan kiri dan aku suka agak kepikiran karenanya. Jadilah ku bolak balik ngedat-edit template sekedar pengen menuhin standar kepuasan diri sendiri, hihi #ocd macam apa ya ini mba jane

    Wahahaha, samaan aja nih kalau urusan per-emak-emak lyfe mba jane aw aw

    Sejak brojol anak nomor 2, aku kan makin riweuh ama bab ngopenin anak, yaudah dengan sendirinya aku makin menjauhi sosmed. Bukan perkara iri sama influensah atau teman yang kinclong dari sisi feed sosmednya sih. Kalau tentang pencapaian orang lain aku sama sekali ga ada masalah hihi... tapi lebih ke karena udah riweuh duluan ama diri sendiri, jadi ngepoin hidup orang lain uda ga sempet, even itu temen deket di ig, atau temen blogger di ig, wekeke.....

    kecuali blog, aku sampai sekarang yang masih aktif sliwar-sliwer ya di blog, masih seneng interaktif lah klo di blog. Klo medsos selain blog jujur kurang waktu dengan aku uda riweuh duluan ama 2 bebyku dan ecekebretnya ini hihihi...

    Jadi selain blog, yang lain masih dalam mode uninstal haha

    Etapi sebenernya baca2 blog juga sama sih dengan case medsos lain, di suatu waktu aku pun nyaman dengan cara menerapkan sistim pilih2 juga bacaan blognya, seringnya cari yang isinya menghibur, postnya sesuai dengan jangkauan kapasitasku dalam mencerna tulisannya, dan cencuwnya yang sefrekuensi dengankuh untuk beberapa hal, hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Nita memang paling paham denganku kalo udah soal emak-emak lyfe. Apalagi buntutnya udah dua yaa Mba, udah lebih suhu hihi tantangannya pasti beda.

      Nah iya yaa, bacaan blog yang satu frekuensi itu selalu berhasil naikkin mood aku. Apalagi baca pengalaman pribadi orang lain tuh rasanya lebih punya 'teman seperjuangan' 😊

      Delete
  12. Aku juga ngerasain banget OCD pas main instagram Mba! Dulu waktu insta story masih baru-barunya, aku termasuk yang sering banget pantengin insta story. Tapi lama-kelamaan aku jadi suka nyalahin diri sendiri karena merasa ngga bisa apa-apa. Tau begitu, aku akhirnya mutusin ngga akan pernah liat insta story orang kecuali insta story influencer yang mengedukasi (dalam artian bukan mau pamer ini itu). Bahkan sekaran aku udah ngga mau scroll timeline feed instagram di home. Kalo ada yang nge like postinganku di instagram, aku langsung like balik ke profil dia tanpa harus liat postingan dia di scrolling-an timeline home IG. Hehe, itu sih kalo dari aku caranya. Alhamdulillah sekarang hidup jadi lebih sehat. Secara mental udah ngga ngebanding-bandingin lagi. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahh ide bermain sosmednya patut dicoba nih. Kebiasaan jelek akutu kadang masih suka kepo scrolling profile orang dari atas ke bawa terus ke atas lagi. Buang waktu banget dan nggak dapet apa-apa 😅

      Turut senanggg kalau aktifitas di sosmednya membawa manfaat buat diri sendiri ya 😊

      Delete
  13. Pertama kali mampir, blognya rapi sekali, salam kenal...
    Hm, saya kira OCD itu obsessive compulsive disorder...ternyata ada OCD ada lagi yang lain hahaha..

    Menarik memang bagaimana OCD ini mengenai gen milenial, tapi menurut saya semua bisa kena kalau sedang punya konsep diri yang buruk, ini juga termasuk mood yang berubah-ubah. Saya pernah menulis di blog sendiri tentang cara menghadapi banyak pameran di medsos, tapi di artikel ini juga ada bahasannya yang krg lebih sama..

    Nice post..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Phebie! Terima kasih yaa! 😊

      Iya, aku juga baru tau OCD ada kepanjangan lain hahaha

      Generasi milenial soalnya udah hidup di era teknologi maju serta internet. Betull banget siapa aja bisa mengalami kecenderungan ini, makanya pembahasan mental health pun lebih digaungkan yaa belakangan ini.

      Habis ini aku mampir main ke blognya ya! Makasih udah baca tulisan ini juga 😊

      Delete
  14. Saya bangettt huhuhu.
    Meski nggak selalu seperti itu, namun jujur memang dalam hati ada rasa seperti itu, meskiiipun nggak pada semua orang sih, hanya pada teman-teman yang dulu saya kenal.

    Misal teman kuliah di mana dulunya udah saling bersaing, terus sekarang liat teman-teman berkarir, udah ke sana ke sini, rasanya saya jadi sedih sendiri, dan merasa nyesal jadi IRT.

    Cuman kadang sih hal itu hanya berlaku sementara, biasanya akal sehat lalu menyelimuti.

    Soalnya , saya tahu, setiap orang punya sisi iri terhadap orang lain.
    Saya sering ketemu sama temen-temen lama, ngobrol dan sadar betul, betapa apa yang terlihat itu sebenarnya tidak melulu seperti apa yang kita bayangkan.

    Kayak saya yang iri sama teman-teman yang karirnya bagus, ternyata teman-teman juga iri sama saya, karena saya tidak pernah meninggalkan anak khususnya sata anak sakit.
    Seperti yang mereka selalu alami.

    Sejak saat itu setiap kali saya insecure melihat postingan orang, akal sehat saya yang itu selalu muncul dan berkata, percayalah Rey cuman orang yang bersyukur yang jadi orang paling bahagia di dunia ini.

    Semua pasti punya masalah dan tantangan masing-masing :)

    ReplyDelete