About Life Choices

Wednesday, September 2, 2020


Sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Mba Eno, yang beberapa waktu lalu mengadakan Paid Guest Post, sehingga memberikan aku kesempatan untuk menengok kembali sebuah tulisan lama di blog dan memutuskan untuk menambahkan beberapa pemikiran baru tentang hal tersebut. Selamat membaca, ya! 😊

***
Suatu hari, ketika aku masih bekerja sebagai barista di sebuah coffee shop berlogo putri duyung hijau, aku bersama atasanku—sebut saja dengan Mr. A—sedang mengerjakan laporan sales sambil mengobrol ringan. Obrolan berubah serius saat beliau melontarkan pertanyaan berikut: 

“Kenapa ya, orang Tionghoa (di Indonesia) itu selalu menuruti apa yang orangtua mereka mau. Seperti pilihan jurusan kuliah harus yang “aman”, entah itu kedokteran, hukum atau bisnis. Soal pekerjaan pun begitu, mereka selalu diminta untuk melanjutkan usaha orangtuanya. Kayaknya mereka nggak punya pilihan dan impian sendiri, dan selamanya ‘ngumpet’ di bawah sayap orangtuanya”. 

Fyi, aku adalah seorang keturunan Tionghoa generasi kedua, sementara Mr. A adalah orang lokal Bali.

Aku nggak yakin perkataan atasanku tersebut merupakan sebuah pertanyaan atau malah sebuah pernyataan. But I found it very interesting. 

Btw, no hurt feeling dengan Mr. A, ya. He's one of the best leader I ever knew. He is a nice man. Disclaimer supaya nggak salah paham hihi 

Oke, lanjut. Cerita sedikit dulu, ya, tentang pengalaman pribadi. 

Aku dan adikku pernah ada di situasi "klise" seperti yang disebutkan Mr. A. Sejak SMA, aku ingin sekali masuk jurusan jurnalistik karena impianku menjadi seorang penulis dan kecintaanku pada majalah sejak usia remaja. Aku sampai pernah menulis postingan khusus (nggak usah dicari, ya! 😆) tentang khayalanku sebagai editor in chief di sebuah penerbitan majalah lokal ternama. Sementara, adik pertamaku sempat bercita-cita ingin masuk jurusan musik. But at the end, aku 'nyasar' di jurusan Sastra Mandarin dan adikku sekarang yang sudah menjadi dokter dan akan melanjutkan studinya kembali. 

Jujur aja ya, aku sempat nggak berhenti mengutuk diri sendiri kenapa harus ‘terjebak’ dalam kondisi di mana harus menjalani jurusan yang sama sekali nggak pernah aku bayangkan. Aku nggak pernah ingin belajar sastra Mandarin, apalagi di negaranya langsung. Satu-satunya alasan mengapa akhirnya aku mengambil pilihan ini, karena tawaran beasiswa penuh selama empat tahun kuliah di China. Hampir nggak mungkin aku menolak tawaran tersebut karena di saat yang bersamaan, orangtua sedang struggle dalam finansial. Beasiswa tersebut amat sangat meringankan beban mereka, dibandingkan aku terus memaksa untuk berkuliah di universitas swasta Jakarta. (Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini ya: What Brought Me to China 8 Years Ago)

Tahun pertama di universitas, hampir setiap hari aku mengeluh. Setiap bangun pagi, aku pasti menangis di kamar mandi sebelum masuk kelas. Entah apa yang ditangisi; antara homesick, kekesalan pribadi atau kondisi nyata gedung asrama kampus yang sangat berbeda dengan brosur yang kuterima (yak, ini nggak penting). Rutinitas itu terus berlanjut sampai sebulan lamanya. Capek nggak tuh, tiap mau ngampus, pake drama dulu. Penyesalan ini terus menganggu pikiran sehari-hari. 

Terkadang aku lupa, bahwa aku berada di situasi tersebut karena pilihanku sendiri. Aku yang memutuskan sendiri untuk mengambil beasiswa ini dan menjalani semuanya selama empat tahun ke depan. 

Di saat aku sadar bahwa semuanya ini adalah pilihanku sendiri, I started to gain a different perspective

Meski orangtua yang memintaku untuk mengambil kesempatan kuliah di Guangzhou, mereka nggak pernah sekalipun melarangku melakukan hal-hal yang kusuka. Misalnya, menulis atau blogging. Mereka sangat mendukungku bahkan sampai detik ini. Ya gapapa deh nggak bisa kuliah jurnalistik. Setidaknya, berkat internet aku bisa menulis apapun yang aku mau dan ilmu juga tersebar luas di luar sana. 

Ketika aku mulai mencoba membuka pikiran baru seperti itu, hari-hari kuliah terasa lebih menyenangkan. Berat, tapi setidaknya aku mulai happy. Dan aku pun mulai paham, bahwa keputusan apa pun yang aku pilih, aku harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihan tersebut. 

“The man who complains about the way the ball bounces is likely to be the one who dropped it.”
 -Lou Holtz

Saat kita melempar bola, hampir nggak mungkin rasanya kita protes tentang bagaimana bola tersebut memantul ke sana dan ke mari. It’s so silly. Gimanapun juga bola tersebut memantul demikian karena kita lah yang melemparnya seperti itu. 

Hal yang sama ketika kita memilih sesuatu, kita juga lah yang harus bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri. Masa lo mau nyalahin orang lain? Iya, sih, orangtua yang minta gue kuliah ke China. Tapi toh akhirnya gue juga yang memutuskan untuk berangkat. If you need someone to blame on, it’s all on you. 

*jleb jleb nusuk ke diri sendiri* 

Kuncinya di sini adalah tanggung jawab

Keputusan hidup apapun yang kita pilih, kita juga yang harus bisa bertanggung jawab dan berani terima segala risiko yang ada. Sama halnya ketika di antara kita yang mungkin punya privilege untuk kuliah sesuai minat pribadi atau bekerja di karir impian. Kasarnya, udah enak lo bisa nentuin pilihan sendiri, masa iya menjalaninya juga ogah-ogahan? 🤭

Beberapa waktu lalu, aku mengikuti sebuah parenting webinar bertemakan bakat dan potensi anak, yang mengundang Ernest Prakasa menjadi salah satu narasumber. Sebagai seorang yang juga keturunan Tionghoa, Ernest memaklumi hal-hal “klise” yang terjadi pada sebagian besar keluarga Tionghoa di Indonesia. Namun, ia berusaha untuk 'memutuskan' stigma masyarakat luas tentang etnis Tionghoa yang kayaknya hidupnya gitu-gitu aja, seperti anggapannya Mr. A. Ernest sempat bercerita, dia nggak pernah dituntut orangtuanya harus kuliah ini atau itu supaya karirnya bisa begini atau begitu. Ernest menjalani pilihanya sendiri dengan rasa tanggung jawab yang besar. Dia mampu meyakinkan orangtuanya bahwa apa pun yang dia jalani, dia akan bertanggung jawab sekalipun mungkin harus mengalami kegagalan. Menurut Ernest, saat kita menjalani pilihan sendiri, rasa tanggung jawab harusnya lebih besar ketimbang kita melakukan sesuatu demi orang lain. I can’t agree anymore about this statement. 

Aku percaya setiap orangtua—lepas dari etnis apapun—ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Orangtua pasti punya harapan bahwa suatu hari anak-anak bisa menjadi sosok yang berguna dan diakui dalam masyarakat. Tapi kalau mau ngomongin spesifik orang Tionghoa (sekalian mengoreksi dikittt pernyataan Mr. A di atas), aku rasa penyebabnya karena kehidupan sulit di masa lalu. Yeye (sebutan untuk kakek dari pihak ayah) datang merantau dari China ke Indonesia untuk meneruskan hidup. Setelah menikah dan berkeluarga, Yeye harus menghidupi anak-anaknya, salah satunya, ya, papaku. Mereka yang tau sulitnya berjuang hidup di masa lalu, nggak ingin generasi berikutnya mengalami hal serupa. Itu kenapa orangtua Tionghoa ingin anak-anak punya masa depan yang pasti-pasti aja. Ngapain harus susah-susah dulu, kalau udah ada yang pasti. Begitulah kira-kira. 

Terus, gimana dong untuk mereka yang udah jauh-jauh kuliah ke luar negeri, balik ke Indonesia ujung-ujungnya “jaga toko” orangtua? 

To be honest, aku sempat berpikiran sempit seperti itu. Menilai keputusan hidup orang lain seenaknya. Sampai akhirnya aku pernah bekerja full time sebagai barista coffee shop dan suami yang sampai hari ini sukses meneruskan usaha orangtuanya sejak lulus kuliah, kemudian mendengar orang-orang di sekitar yang mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya saat mengetahui pilihan hidup yang kami jalani: 

“Itu si Jane jadi barista? Sayang banget sih S1 malah kerja jadi pelayan."
"Lah itu suami kamu jaga toko?" 
"Ah jualan doang mah nggak usah sampai sarjana di luar negeri." 

Lah, terus kenapa? Ada yang salah? 

Mau jaga toko kek, mau jadi barista, mau jadi manager restoran, punya gelar sarjana atau nggak, kalau yang menjalaninya enjoy dan penuh tanggung jawab, kenapa harus dipermasalahkan? Kita nggak pernah bisa menghakimi hidup orang lain, karena kita nggak berada di ‘sepatu’ yang sama dengan mereka. 

Percaya nggak, sih, orangtua itu hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia? 

Kalau kita bisa bahagia dengan melakukan apapun itu yang kita lakukan sekarang ini, orangtua pun pasti ikut bangga kok. 

Jadi, apakah seorang Jane bahagia dengan hidupnya sekarang ini? 

Puji Tuhan, aku sangat bahagia menjalani hidup saat ini. I'm not saying that my life is easy. Semakin lama kita hidup di dunia ini, semakin berat juga kehidupan yang dijalani. Maka dari itu, aku mencoba untuk bisa memilih keputusan dengan bijak, supaya aku nggak terus-terusan menyesali apa yang di belakang, namun fokus menjalani yang terbaik untuk di masa depan. Lagipula, kalau sebelas tahun yang lalu aku nggak berangkat ke Guangzhou, nggak ketemu calon suami dong? 🙈

Sementara soal adikku, kalau kalian penasaran, so far dia sangat mencintai pekerjaannya sebagai dokter. Dia berkesempatan tinggal di beberapa kota di Indonesia dan membantu banyak orang yang membutuhkan. 

Mau kamu jadi dokter, guru, pengacara, entrepreneur, presiden, menteri, jualan online, barista atau ibu rumah tangga sekalipun (yes, I’m talking about myself, again, here :P), as long as you’re happy and being responsible while doing it, you’re just fine. Your life doesn’t depend on what people say about you. 

As for myself, I want to always make my parents proud while doing things that I love. Malahan aku sangat berterima kasih karena mereka sudah melihat potensi dalam diriku dan dua adikku lainnya, nggak menyerah untuk terus mendorong kami, sehingga kami bertiga mampu menjalani kehidupan sampai saat ini (: 

Sebagai penutup, aku ingin memberikan salah satu kutipan favorit tentang pilihan hidup. Semoga keputusan apapun yang kita ambil hari ini, jangan pernah disesali. Sebaliknya, biarlah semuanya bisa menjadi pembelajaran hidup berharga di kemudian hari 💜

"In the long run, we shape our lives, and we shape ourselves. The process never ends until we die. And the choices we make are ultimately our own responsibility."
 -Eleanor Roosevelt 

37 comments:

  1. Aku pun merasa di luar etnis apapun, orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Tinggal caranya saja yang pasti berbeda tiap keluarga.

    Aku sulung dan diarahkan oleh orang tuaku dalam pengambilan keputusan saat menuju usia dewasa. Cita-citaku dulu belum jelas, I didn't even know what I want, yang aku tahu cuman aku pingin kuliah di universitas A, udah gitu. Tapi orang tua g setuju dan mengarahkanku untuk mendaftar jadi tentara atau sesuatu yang berhubungan dengan militer. Padahal itu bukan aku banget!

    Sampai akhirnya bisa berkompromi dan aku g jadi ikutan tes-tes itu. Setidaknya aku ikut andil dalam pengambilan keputusan, walaupun ini bukan pilihan yang paling benar, tapi setidaknya ini yang terbaik dan bisa aku jalani.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Pipit, terima kasih sekali udah berbagi ceritanya di sini 😊

      Setuju sekalii, setiap keluarga pasti punya cara dan gaya sendiri dalam mendidik dan mengarahkan masa depan anak-anak mereka. Semua balik lagi gimana kita (anak) yang menjalani dan menentukan pilihan. Aku turut senang kalau Mba Pipit akhirnya bisa mengambil andil dalam menentukan impian Mba sendiri. Yang penting kita bahagia saat menjalaninya ya (:

      Delete
  2. Kalau bicara tentang pilihan, ini juga sempat jadi problem saya dengan Mama. Waktu itu, pas lulus SMA, mama maunya saya masuk jurusan konvensional. Tapi secara diam-diam, saya daftarnya ke jurusan yang saya mau. Meski sempat kecewa, saya tetap kasih penjelasan ke Mama.

    Ohya, pertanyaan itu pernah dibahas dalam film CTS-nya koh Ernest juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Good to hear Mas Rahul akhirnya bisa menjelaskan pada mama ya. Memang terkadang sulit untuk melakukan di luar yang orangtua ingin kita lakukan. Tapi kalau akhirnya mereka bisa mengerti, kita pun bisa menjalani tanpa beban ya.

      Iya betul. Film itu terlalu real untuk kami hiks

      Delete
  3. Mbaa Jane, baca ini saya jadi diingatkan sama seorang blogger asal Tionghoa juga, dia pernah menulis di blognya tentang tentang susahnya dia menjadi etnis Tionghoa di Indonesia, kurang lebih sama seperti pertanyaan atau (pernyataan) di atas. Dia bercita-cita ingin jadi PNS simple-nya guru. Tapi hidup sebagai etnis Tionghoa membuat dia melupakan mimpi sederhana itu. I know sedikit banyaknya yang dibahas di sana adalah rasisme, bagaimana kuatnya doktrin tentang we know it mba, i won't mention it karena terlalu jahat.

    Saya nggak tahu apakah saya tepat atau tidak untuk membicarakan hal itu disini, lastly I wanna say, mba Jane lebih kuat dari yang mba tahu so that's why mba mau mengambil keputusan untuk membantu orangtua mba dibanding kokoh pada keinginan mba sendiri. Yep bener banget mba, life your live mba, ketika ekspektasi seseorang tidak sesuai dengan keinginan mba, it's not your failure mba, that's their fault, karena mereka nggak boleh menaruh ekspektasi apapun terhadap hidup kita, kita yang decide selama kita happy selama kita bertanggung jawab seperti yang mba bilang di atas. Thank you mba Jane for sharing. Semangat mba ❤❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mba Sovia, boleh peluk jauh dulu nggak 😢 aku terharu sekali dengan komentar Mba Sovia. Memang butuh waktu yang cukup lama sampai akhirnya aku mengerti, bahwa pilihan hidup yang pernah aku putuskan itu membuahkan hasil manis di kemudian hari. Awalnya memang sulit memikirkan "apa kata orang", namun setelah berlatih terus menerus, aku sadar bahwa kita nggak bisa mengendalikan pendapat mereka. What matters most that we're happy with our lives ❤️

      So much thankss Mba Sovia for your kind comment 🤗

      Delete
  4. Wow ci Jane.. Super sekali dapet beasiswa full selama 4 tahun di negeri tirai bambu itu... Aku dulu ingin loh kuliah bahasa di China supaya bisa Bahasa Mandarin tapi ga sesampean hahaha...

    Betul sekali ci! Kita tuh kadang suka pengen nimpain kesalahan ke orang lain pas uda mutusin sesuatu. Padahal mah emg kitanya yang uda pilih jalur itu yaa hehehe

    Aku pun dapet tuh statement "Ngapain lu kuliah kalau ujung-ujungnya bantuin orang tua jaga toko?" Plus statement "Lu juga abis nikah bakal di dapur, ngapain coba cape-cape kuliah. Mending langsung terjun belajar masak sini." Sebel banget dapet statement itu makanya aku kekeuh ingin kuliah meski perang dulu sama mama soalnya mama ga setuju aku lanjut kuliah :(
    Untungnya aku dapet kesempatan dengan diterima di perguruan tinggi dan dapet potongan biaya masuk. Jadilah aku tetep melanjutkan studi hingga bangku kuliah hehe

    Makasih ci Jane buat pemikirannya... ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. All by God's grace, Friscaa. Aku juga nggak paham kenapa bisa dapet full scholarship waktu itu 🙈 btw, mungkin bisa jadi impian kamu berikutnya untuk studi di tirai bambu? 😁

      Lepas dari apa pendapat orang lain termasuk mungkin orang terdekat, pada akhirnya kamu bisa menentukan jalan hidupmu yaa. Good for you, Fris 😊 akutu ikut senang waktu kamu bisa menyelesaikan challenge bahasa Jepang waktu itu. Yang penting kamu happy yaa ❤️

      Delete
    2. waah itu kayanya mimpinya beneran cuma mimpi ci hihihi >.<

      Iya ci, karena itu pulalah aku jadi bisa make choice atas hidupku ini. Ga yang ngikut apa kata orang ajaa dan hidup bagai ikutin air mengaliirr. Hehehe

      Wah ci makasih loh sudah ikutan senang 😘 Terus aku lanjut loh ke challenge yang level selanjutnya di bulan November nanti hehe
      semoga bisa diselesaikan dengan baik juga 😝

      Delete
    3. Woww ganbatte, Frisca! 😆 semoga challenge kali ini tambah semangat dan bisa selesai dengan baik yaaa :D

      Delete
  5. Terima kasih pemikirannya kak, Jane...

    Semenjak lulus kuliah dari Sastra aku nggak memilih bekerja tapi memilih untuk usaha.
    Sama seperti yang Kak Jane alami, aku juga dapat omongan gak enak dari orang sekitar

    "Lulusan Sarjana kok malah jualan. Nggak sayang kuliahnya"

    Aku ngerasa bahwa ini hidupku dan aku bebas memilih apa yang aku lakukan. Yang penting dalam prinsipku tidak mengganggu kehidupan orang lain.

    Kebetulan orang tuaku juga selalu mendukung anaknya dalam menentukan karir. Bahkan soal menulispun mereka tahu.

    Aku suka penutup terakhirnya. "apapun pilihan yang kita ambil hari ini. Jangan pernah disesali"
    ❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Mba Rie! Terima kasih juga sudah membagikan cerita Mba Rie di sini 😊

      Jujur aja, dulu aku belum bisa mengolah emosi dan pikiranku tentang pendapat orang lain. Yang ada baper dan mengasihani diri sendiri. Lama-lama aku sadar, ini hidupku, Tuhan juga punya rencana baik untuk aku. So aku nggak lagi pusingin apa pendapat orang lain tentang pilihan hidup ini, rasanya jauh lebih enteng ☺️

      Delete
  6. Baca ini rasanya aku pengin jedotin kepala dan minta maaf ke semua orang karena aku pernah jadi orang yang berpikiran "ngapain kuliah jauh-jauh ujungnya jualan, ngapain dulu juara kelas ujungnya jadi ibu rumah tangga" astaga jahat banget sumpah :((

    Syukurlah mataku udah terbuka sekarang. Bener banget, kita enggak hidup di atas sepatu mereka, kita enggak tahu keputusan dan struggle yang mereka hadapi, jadi kita enggak punya hak untuk berkomentar dan menghakimi mereka seperti itu. Sekarang kalo denger ada yang komentar begitu malah rasanya pengin kumarahin *ga sadar diri dulu pernah begitu ahaha*

    Dan karena aku selalu kerja sama orang-orang keturunan Tionghoa selama ini, aku tau kok enggak semuanya kayak stigma yang Mr.A itu bilang. Aku kenal beberapa orang yang tetep menjalankan hidup sesuai impian mereka, juga kerja keras untuk hidup yang lebih baik lagi.

    I know you're happy Jane, dari tulisan-tulisanmu di blog yang selalu positif dan bisa ngajak orang semangat, kelihatan kalo kamu menjalani hidup yang bahagia :)

    Thank you udah sharing Jane ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huhuhu gapapa Eyaa. Aku pun sempat punya pikiran jelek kayak gitu, sampai akhirnya sadar bahwa semuanya nggak benar 😢

      Semakin ke sini aku semakin melihat banyak cerita hidup orang lain. Ternyata banyak sudut pandang tentang kehidupan yang selama ini belum pernah aku ketahui. Dari situ lah perlahan aku mengubah mindset. Pilihan hidup ya urusan masing-masing orang, kita nggak pernah tau rasanya jadi mereka 😊

      Ahh Eyaa jadi ingin menangis aku hiks *pelukkk* terima kasih yaa untuk kata-kata positifnya. Dan makasih juga udah ikutan sharing di sini ❤️

      Delete
  7. Percaya gak, dulu ibu Leony ini pernah nangis2 tengah malam, lantaran mendadak kepingin kuliah memasak hahahahaha. Pas masih SMA kelas 2 tuh hihihi. Tapi percaya gak, menurutku walaupun pilihan sendiri ataupun orang tua, tapi hal2 tertentu itu adalah jalan Tuhan untuk kita bertemu seseorang, atau mengalami perjalanan hidup yang menarik, yang membentuk kita sekarang ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi percaya ajaa dong 🤭 tapi toh sampai hari ini cici bisa jadi koki terbaik buat keluarga yaa 😊

      Can't agree anymore. Seperti yang aku tulis sebelumnya ci, terkadang kita cuma bisa "mengecap" dulu, baru setelah itu bisa "melihat", oh ternyata ini maksudnya Tuhan. Dan ketika melihat ke belakang, semuanya memang indah 😊

      Delete
  8. Ci Jane, terima kasih atas postnya yang berharga banget ini. Sangat menguatkan 😍

    Aku sedikit banyak, setuju dengan komentar ci Leony di atas. Bahwa segala pilihan yang kita ambil adalah jalan Tuhan untuk kita bertemu seseorang atau mendapat pengalaman baru.

    Aku masih berada di posisi ini, sering dengar ucapan bahwa kuliah tinggi-tinggi tapi ilmunya nggak dipakai karena akhirnya aku memilih jalan lain. Hal ini bikin aku minder sampai saat aku baca tulisan ini :(
    Oh astaga.. ternyata banyak yang senasib seperjuangan dan ternyata sebenernya nggak ada alasan untuk jadi minder. Justru aku harus bangga dan bahagia dengan pilihanku ya, agar orangtua juga ikut bahagia lihat kita. Aaah, terima kasih banyak pengingatnya ci Jane 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama sama Lia 🤗

      Iyaa betul, kalau nggak ditulis di sini aku pun juga nggak pernah tau bahwa teman-teman pembaca punya struggle yang sama. Ternyata kita semua nggak sendirian, pernah ada di situasi yang sama. Tapi yang penting, kita semua bisa saling menghargai pilihan hidup masing-masing ya. Yang penting kita happy dan sadar Tuhab yang menyertai hidup kita selalu 😊

      Semangaaat, Lia! ❤️🤗

      Delete
  9. Everything happened for a reason. Setuju sama tulisan ini, no need to blame other people just let's keep going and take responsibility for all we do. Karena kalau nyalahin orang terus nggak nyaman sih hidup, been there before lmao.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yess. Meski rasanya sakit saat tau bahwa diri sendiri yang patut disalahkan (bukan orang lain, jlebb), namun pada akhirnya kita sadar pilihan hidup itu ada di tangan masing-masing ya (dan tentunya dengan campur tangan dengan Yang Di Atas) 😊

      Delete
  10. Betul sekali, apapun pilihan kuliah yang diambil kan kita sendiri yang melakukan biarpun mungkin orang tua yang menyuruh tapi kalo kita tak mau mereka tidak memaksa.

    Berarti mbak Jane pernah kuliah di Guangzhou China ya, keren mbak. Biarpun dari beasiswa tapi tetap saja oke karena yang dapat beasiswa kan mahasiswa pilihan.

    Benar Sekali, ada teman saya yang jadi penjual toko padahal dia lulusan S1. Tetangga pada nyinyir, katanya kalo cuma jualan toko mah ngga usah sekolah tinggi-tinggi. Lha, teman saya yang ngejalanin juga happy happy saja kok orang lain yang ngomel.😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mas Agus. Kalau dipikir-pikir lagi, dulu saya sombong banget kalau sampai menolak kesempatan emas itu. Dan pastinya saya bakal membuat orangtua semakin sedih dan menanggung beban berat 😢

      Nah iyaa kan 😂 lepas mereka serius atau bercanda, tapi maksud ngomong gitu apa sih sebenernya hihi toh yang jalanin happy happy aja 🙈

      Delete
  11. Mba Jane postingan ini mengingatkan saya ke sahabat saya waktu kuliah. Kami sekamar di asrama, dan sahabat saya ini suka dipandang sebelah mata sama teman - teman non-Indonesia karena sangat humble dan penampilannya sederhana. Pun dia nggak suka belanja. Sekarang bahkan dia lebih pilih bekerja di hotel di Bali sebagai Front Office. Lucunya, pas orang - orang tau dia salah satu anak orang terkaya eh semuanya jadi minder hehehe.

    Never judge the book and anything from its cover. Jangan julid sama jalan pilihan orang karena nggak pernah tau cerita hidupnya kayak apa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah ini betul sekali, Mba Ayu. Terkadang kita terlalu fokus memandang dan menilai hidup orang lain, padahal sebetulnya kita nggak tahu apa-apa. Memang seharusnya kita harus belajar memandang orang lain apa adanya ya 😊

      Delete
  12. Sepertinya setiap orang tua juga akan berharap anaknya meneruskan minat atau cita-cita orang tuanya apalagi kalau sudah terbukti orang tuanya sukses di jalan tersebut. Misalnya bapak saya, seorang Bali, sukses menjadi bankir. Dia sangat berharap anak-anaknya, atau salah satu, melanjutkan kesuksesannya. Misalnya kuliah jurusan ekonomi, bekerja di bank, dan sejenisnya.

    Kebetulan saya dan adik-adik tidak ada yang berminat di bidang itu, jadinya tak satupun dari kami yang kuliah ekonomi atau bekerja di bank. Begitu juga seharusnya setiap anak, bisa menentukan mau jadi apa. Tapi seperti yang dibilang Ernest, tanggung jawabnya lebih besar kalau kita berjalan di jalan sendiri.

    Bahkan mungkin "ditinggalkan" sendirian oleh orang tuanya.

    Ini bukan masalah etnis apa atau apa, bisa terjadi dimana saja. Bahkan di Bali, ada juga orang tua yang mewajibkan anak laki-lakinya untuk tetap tinggal satu rumah dengan orang tuanya meskipun si anak sudah menikah. Banyak juga yang seperti itu. Tapi sekali lagi, tidak bisa digeneralisir orang Bali atau tradisi Bali kaku seperti itu, tergantung setiap orang yang menjalaninya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya betul sekali, Mas Agung. Setiap orangtua pasti ada kecenderungan ingin anak-anaknya mengikuti jejak mereka, karena sebetulnya mereka nggak mau anak-anak susah hidupnya. Tapi seperti yang Mas Agung bilang, setiap orang pasti punya preferensi hidup yang berbeda, bahkan mungkin harus melalui perdebatan dengan orangtua. Namun, kalau kita bisa membuktikan kepada orangtua kita juga bisa bahagia dan berhasil dengan pilihan hidup sendiri, saya rasa orangtua manapun pasti ikut bangga (:

      Btw, Mas Agung orang Bali ya? Saya baru tau :D *padahal dari namanya bisa ketebak ya 🙈*

      Delete
    2. Hihi,, kebetulan saya lahir di Bali dari seorang bapak yang orang Bali. Tapi saya tidak betah tinggal di Bali. 🤐
      Kalau liburan sih, Bali masih menjadi tempat terfavorit, karena banyak keluarga yang bisa direpotin. Hehehe.

      Delete
    3. Oalahh di saat orangtua saya malah memilih tinggal di sana, Mas Agung malah hijrah yaa ke kota lain 😂

      Wah iya saya setuju soal itu. Pulang ke Bali ada orangtua yang bisa saya titipkan anak, kemudian papa mamanya kaburrr pergi kencan 🙈

      Delete
  13. Mendengarkan kata orang memang nggak ada habisnya ya mbak. Kadang jadi racun di pikiran...hebat dapat beasiswa ke negeri bambu..

    Kawan sekolah saya dulu rata-rata dari keturunan Tionghoa, sekarang juga masih banyak kawan dari berbagai kumpulan. Kalau yang dari Cina daratan asli juga ada dulu sekongkolan saat kuliah. Saya banyak belajar dari etos kerja, kekompakan, dan kegigihan mereka.

    Soal stigma atau anggapan yang beredar itu karena tidak melihat secara individu. Sebagai individu orang akan mendapat penilaian yang adil...

    Orang nggak akan melihat orang lain apa adanya juga kalau tidak berani membuka diri...untung sekarang banyak ya seleb semacam Ernest

    Orang tuanya mbak bijak sekali...

    Nice story, mbak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali, Mba Phebie. Kalo omongan orang lain sebanyak itu aku telan semuanya, kayaknya aku bisa 'mati' berdiri deh 😂 karenanya lah sekarang aku berusaha untuk memilah apa yang ingin dan layak didengar 😊

      Awalnya aku ngerasa Ernest terlalu nyentrik dan blak-blakan. Tapi kalau dia nggak bersuara, aku rasa keberanian dalam diri ini juga sulit untuk muncul hihi so thanks to him! 😁

      Makasih juga sudah baca dan berbagi di sini yaa Mba 😊

      Delete
  14. Hai Kak Jane
    akhrinya main ke blog kakak, hihi
    sama banget kak, aku baru aja negrasain gimana rasanya diarahin orangtua terutama untuk kuliah, karena bukan hal yang mudah apalagi, sampai 4 tahun untuk ngejalaninnya. Aku pun sempat bertentangan saat milih jurusan saat itu, dan berakhir dengan 'mengalah' memilih jurusan sesuai keinginan ortu. Tentu ortuku mengharapkan yg terbaik untuk aku, walaupun terlihat sulit dan pahit di awal, tapi semoga bisa berakhir manis nantinya, doain yaa kak, hehe
    Semangat terus untuk kakak, bener-banget, kadang kita ngga perlu dengerin omonga orang soal ambil kuliah tapi tidak bekerja tidak sesuai jurusan yg diambil, yg penting kitanya happy dan tidak merugikan orang lain
    Kutipan terakhir jadi bikin tersentuh nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Andin! Makasih yaa sudah berkunjung ke sini 😊

      Ahhh semangaaaaat untuk kamu! Asal dijalaninya dengan enjoy dan sukacita, percaya lah semuanya akan dilalui dengan baik. Semoga semuanya lancar yaaa. Good luck, Andin! ❤️

      Delete
  15. Mba Janeee, kangeenn. Hari ini diriku bisa bw pelan2, nyicil hehehe.

    Tulisan2 Mba Jane selalu bagus ternyata memang punya ketertarikan di bidang jurnalistik.

    Kehidupan saya dekat dengan orang Tionghoa karena dulu saya sekolah di SD Katolik. Jadi saya sering main ke rumah mereka. Ya, kebanyakan orangtua teman2 saya punya toko.

    Kalau soal pilihan, saya pun begitu, Mba. Orangtua menginginkan anaknya kerja sebagai PNS atau di kantor pemerintahan. Sekarang kan susah ya. Meski saya juga pernah kerja di kantor pemerintah tapi saya lama2 nggak kuat, hehehe. Akhirnya saya resign dan memilih jadi IRT. Pastinya ibu saya sedihnya bukan main.

    Entah nanti apakah saya benar2 bisa jadi orangtua yang benar2 membebaskan pilihan anak atau kelak masih mendikte anak. Makin dewasa dan tahu rasanya jadi orangtua, lama2 saya tahu kenapa dulu orangtua kok begini begitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiii Mba Pipit! Aku juga kangen sekalii, mendadak tadi accept banyak komentar dari Mba Pipit 😂 makasih banyak yaa Mba udah meluangkan waktu ke sini 😊

      Terkadang aku masih suka menebak-nebak apakah orangtuaku bangga dengan pilihan hidupku. Iya sih mereka mendukung, tapi apakah masih ada terbesit keinginan mereka yang ingin aku bisa lakukan. Meski demikian, aku berharap Mba Pipit bahagia menjalani kehidupan yang sekarang yaa 🤗

      Dan betul sekali yang Mba Pipit bilang. Sejak punya anak, perlahan aku belajar bagaimana orangtuaku dulu mendidik aku. Semoga nantinya kita juga bisa menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak kita ya, Mba ☺️

      Delete
  16. Orang yg ngomong ngapain jd sarjana kalo hrs jd barista ujungnya, dia ga tau barista Starbucks bukan barista biasa . Apalagi nama besar Starbucks yg dibawa, pasti biasanya mensyaratkan minimal S1 untuk bisa kerja di tempat mereka :). Sama kayak bank asing tempat aku trakhir kerja. Teller aja wajib S1.

    Setuju mba Jane, semua yg kita jalanin ini, sebenernya udh menjadi tanggung jawab kita. Bukan orang tua, walopun mungkin mereka yg memberi saran pertama. Tapi toh keputusan akhir untuk menerima ttp di kita.

    Tapi baca anggapan ttg etnis Tionghoa td, aku jd inget kata2 yg papa pernah bilang ke aku mba. "Kamu tau ga kenapa etnis Tionghoa itu bisa kaya dan sukses? Karena mereka patuh dan sangat hormat dengan orangtuanya. Dan Krn itu doa dari orangtuanya selalu menyertai apapun yg mereka kerjakan"

    Setelah aku pikir lagi, anggapan dr bos nya mba, dan apa yg dibilang papaku, mungkin saling terkait :).

    Mereka bukan hanya patuh, tapi juga menghormati pilihan orang tua. Dan itu pasti membuat orangtuanya juga bahagia. Kalo mereka bahagia, otomatis doa2 yang baik pasti mengalir untuk anak2nya. Dan doa orang tua aku percaya makbul mba :).

    Apalagi kalo si anak ttp bertanggung jawab dgn pilihan yg mereka ambil :). Rasa tanggung jawab, kepatuhan, respect dgn orang tua, ditambah usahanya sendiri, jadi obat mujarab dia bisa sukses di manapun :).

    ReplyDelete
  17. setujuuu sama mbak jane
    seperti yang aku tulis di komennya mba eno, kalau dibilang menyesal dengan pilihanku waktu kuliah pasti ada, tapi belakangan, karena dulu aku nggak berani ambil resiko gagal waktu SPMB.
    tiap orang punya cara dan jalan suksesnya sendiri sendiri, misal aku dan temen aku yang sama sama kuliah di hukum, temen aku bisa sampe ke tahap jadi notaris, jadi pengacara, tapi kerjaan aku sekarang beda jauh sama jurusan waktu kuliah. tapi aku enjoy dan bersyukur di tahap seperti ini
    kalau baca baca cerita soal kenapa etnis tionghoa selalu terlihat sukses dimata pribumi, mungkin karena didikan dari nenek moyangnya ya mba, jaman dulu mereka pendatang dan mencoba sukses di tanah rantau dan malah ada history bangunan atau rumah yang ditinggalkan di indonesia saking terkenal suksesnya pada jaman itu

    ReplyDelete
  18. Sepemikiran sekali dengan Ci Jane!

    Jadi teringat dulu mengambil jurusan kuliah yang ternyata aku tidak merasa nyaman ada di sana setelah dijalani, tapi mau nggak mau harus ku selesaikan karena merasa ini tanggungjawabku atas pilihanku sendiri.

    Setelah lulus dan mengambil jalan hidup alias pekerjaan yang ngaak nyambung sama sekali dari dunia perkuliahan, banyak yang menyesali. Namun aku merasa bahagia ketika menjalaninya dan lagi-lagi, mencoba untuk menjalaninya dengan penuh tanggungjawab.

    Terima kasih telah menuliskan ini, Ci Jane. Semakin menguatkan aku untuk tetap berpegang teguh dan semakin kuat untuk menjalani apapun yang telah kupilih sekarang. Luvvvvvv ❤️

    ReplyDelete